Jumat, 04 Mei 2012

Jadilah Mahasiswa, Tidak Sekedar Kuliah !



Kuliah, adalah kegiatan akademik yang terkait langsung dengan kewajiban mahasiswa dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar di kampus sesuai dengan target kurikulum perguruan tinggi yang bersangkutan. Ukuran keberhasilannya adalah dalam bentuk nilai A, B, C, D atau E. Di akhir kegiatan perkuliahan, mahasiswa harus mengikuti sidang ujian Skripsi untuk memperoleh keberhasilan paling akhir, yaitu lulus sebagai seorang Sarjana dengan berhak menyandang gelar kesarjanaan dan memegang Ijazah Sarjana pula.

Lantas, apakah cukup seorang mahasiswa hanya berkuliah saja ? Tentu, amat tergantung dari cara pandang dan tujuan masing-masing mahasiswa selama berkuliah. Kalau bagi saya, yang pernah kuliah di perguruan tinggi, kegiatan kuliah saja belumlah cukup untuk belajar tentang masa depan bagi seorang mahasiswa. Sekurangnya, ada dua hal yang perlu dipelajari bagi mahasiswa selama berkuliah, di samping harus mengejar nilai akademik yang terbaik.
Pertama, mahasiswa harus belajar tentang dunia riil yang akan dihadapinya kelak, saat usai lulus dari bangku kuliah. Kedua, mahasiswa perlu belajar berteman secara lebih luas, dan berorganisasi dalam sebuah kegiatan yang  mendukung untuk keperluan tersebut. Gabungan antara kegiatan perkuliahan, kegiatan belajar dunia riil dan kegiatan belajar berteman dan berorganisasi, merupakan sesuatu yang amat dibutuhkan oleh mahasiswa, agar kelak dapat lebih siap usai kelulusannya sebagai seorang Sarjana.
Belajar tentang dunia riil, adalah belajar tentang beragam kemungkinan profesi, pekerjaan atau sekedar hobi, minat dan bakat yang akan dikembangkan dan ditekuni oleh mahasiswa kelak. Maka, ikutilah beragam kegiatan yang memungkinkan mahasiswa dapat belajar tentang hal tersebut, baik yang di selenggarakan di dalam kampus, maupun di luar kampus. Beragam kegiatan yang dimaksudkan untuk mengembangkan minat dan bakat, antara lain adalah seperti kegiatan olahraga, kegiatan seni, sastra atau teater, kegiatan karya jurnalistik, kegiatan penelitian, kegiatan broadcasting, hingga kegiatan belajar berbisnis, baik bisnis berbasis kreatifitas maupun bisnis konvensional pada umumnya. Tentu, tidak harus diikuti semuanya, namun perlu disesuaikan pula dengan hobi, minat dan bakat yang dimiliki oleh masing-masing mahasiswa.
Sementara itu, belajar berteman dan berorganisasi pun perlu dikembangkan oleh mahasiswa, meski porsinya amat disesuaikan dengan minat, bakat dan waktu yang tersedia dari masing-masing mahasiswa. Tentu, tidak harus selalu menjadi pengurus puncak di organisasi mahasiswa intra kampus atau ekstra kampus. Boleh jadi, mahasiswa cukup terlibat saja dalam sejumlah kegiatan yang diselenggarakan oleh organisasi mahasiswa atau non mahasiswa, apakah ikut sebagai peserta aktif, atau terlibat menjadi panitia saja. Kecuali, bagi mereka yang sangat berminat dan merasa punya bakat secara khusus dalam hal berognaisasi dan kepemimpinan, tentu dipersilakan untuk belajar lebih tinggi lagi.
Belajar berteman atau berorganisasi amat penting dalam membantu mengembangkan kepribadian dan memperluas jaringan pertemanan yang amat mungkin dibutuhkan saat usai kuliah nanti. Belajar berorganisasi pun, kelak akan terasa manfaatnya saat seorang sarjana telah menekuni sebuah bidang pekerjaan. Karena, apapun dan di manapun pekerjaannya, maka kemampuan berorganisasi dalam arti luas, seperti kemampuan bergaul dan berteman, atau kemampuan dalam mengelola orang lain, amat dibutuhkan bagi seseorang dalam menunjang karir pekerjaannya.
Prestasi akademik perlu diraih setinggi-tingginya, bila perlu raihlah sejumlah beasiswa yang tersedia. Ikutilah sejumlah lomba yang ada, seperti lomba karya tulis, atau lomba kreatifitas lainnya, baik yang diselenggarakan oleh kampus, maupun di luar kampus. Ditambah dengan pengalaman mahasiswa dalam belajar mengenai masa depan, serta belajar berteman dan berorganisasi, maka amat mungkin seseorang akan jauh lebih siap saat usai kelulusan sebagai seorang Sarjana.
Jauh, dari sebuah keadaan yang membingungkan, antara kehendak segera ingin memperoleh pekerjaan yang diimpikan dengan kenyataan kesempatan lapangan kerja yang ada. Sebuah keadaan yang biasa terjadi dan cukup sering menerpa bagi mereka yang baru lulus kuliah. Bahwa kelak jauh lebih tersadarkan, dirinya sudah bukan lagi berstatus sebagai mahasiswa dengan segala kondisi dan tuntutan dari kenyataan yang cukup berbeda.

Bagaimana dengan pendapat Anda ?

Ketelanjangan, Moralitas dan Peradaban Umat Manusia

 
Masih saja ada kekeluan ketika kita berhadapan dengan masalah moralitas. Masalah moralitas seringkali hanya dianggap sebagai urusan yang sangat bersifat pribadi. Tidak perlu diungkap, atau apalagi diperbincangkan di ruang publik. Celakanya, masalah moralitas seringkali masih dipersepsikan dan diberi reaksi secara kurang tepat, dan stigmatik. Seseorang akan dengan mudah untuk melabelkan cap sebagai sesuatu yang “sok moralis”, “sok suci” atau “sok alim”.  

Sebuah kondisi psikologi yang amat mungkin cenderung berakar pada fobia terhadap agama. Ada resistensi yang cukup kuat atas segala sesuatu yang berasal dan berbau agama. Benarkah demikian? Sesungguhnya, moralitas bukanlah identik dengan agama. Moralitas adalah bagian dari nilai-nilai kemanusiaan universal.
Lalu, untuk apa nilai-nilai moral itu? Sejatinya, untuk kemanusiaan itu sendiri, agar dapat dihadirkan secara lebih beradab dan mampu meneruskan tugas-tugas kemanusiaan secara berkesinambungan. Agar umat manusia mampu mempertahankan kehidupannya di muka bumi ini.
Tanpa moralitas, maka kemanusiaan akan hancur. Mengapa? Karena moralitas pada hakikatnya merupakan fondasi yang kokoh dalam menopang kemanusiaan. Tanpa moralitas yang kokoh, maka peradaban umat manusia hanya menunggu waktu untuk kepunahannya.
Itulah mengapa, bangsa-bangsa dengan peradaban yang maju selalu ditopang oleh basis moral yang kuat. Tak akan maju sebuah bangsa yang tidak didasarkan pada moralitas atau etik yang tegar dan kuat. Ada kebenaran, kejujuran,  ketulusan, ada harga diri, kehormatan, kebanggaan, kesetiaan, ada tanggung jawab, kepercayaan, penghargaan, ada kebaikan, kebijaksanaan, kelembutan, ada persaudaraan, perdamaian, kasih, sayang, dan cinta, dan seterusnya.
Agama, memang salah satu sumber nilai-nilai moral. Namun, agama bukanlah satu-satunya sumber moralitas bagi umat manusia. Ada banyak lagi sumber moral selain berasal dari agama. Ada filsafat, ada ilmu pengetahuan, ada seni, dan lain-lain. Namun, intinya sama saja, semua berasal dari akal budi manusia yang dianggap berbeda dengan jenis makhluk lainnya.
Sebagai contoh, berbuat telanjang pada dasarnya sah-sah saja, tidak ada yang salah. Namun, ketelanjangan memiliki konteks ruang dan waktu yang dianggap cocok. Penempatan ketelanjangan secara sembarangan dianggap akan melukai nilai-nilai kemanusiaan universal, yang berakar pada filosofi bahwa manusia merupakan mahluk yang lebih terhormat dan beradab dibandingkan mahluk lainnya.
Pun, demikian ketika kita hendak berbicara atau mengungkapkan ekspresi tentang ketelanjangan. Penghargaan atas nilai-nilai kemanusiaan universal, perlu untuk selalu dipertimbangkan saat kita hendak menilai sebuah kepantasan dan kewajaran berekspresi. Selalu ada ruang terbuka untuk bebas berekspresi, namun akan selalu ada moralitas bersama yang mengatur tentang dimana sebaiknya kepantasan dan kewajaran berkspresi itu ditempatkan.
Tentu saja akan ada ruang relativitas untuk masalah moralitas. Selalu akan ada penyesuaian dari waktu ke waktu, dan dari tempat yang satu ke tempat yang lainnya. Setiap individu atau kelompok memiliki hak untuk mengusung dan mempromosikan pandangan yang dianggapnya sesuai dan mewakili kepentingannya. Ada ruang, dimana akan terjadi interaksi dan dialog mengenai sikap dan pandangan itu, untuk kemudian melahirkan relativisme moralitas yang dianggap lebih objektif.
Kejujuran yang mendalam adalah kuncinya. Bersikap toleran atas kepentingan umum yang lebih besar adalah keinsyafan yang jauh lebih utama. Agar selubung atas nama apapun tidak memiliki kesempatan untuk menutupi akar masalah yang sesungguhnya. Agar konteks masalahnya tidak kemudian menjadi lari ke sana kemari, menjadi sekedar perdebatan tentang “batas-batas” ketelanjangan atas nama klaim relativisme dan absurdisme yang kian mengaburkan masalah yang sebenarnya.
Betapapun relatif dan sangat absurd, namun masalah kemanusiaan haruslah hadir pada tataran yang lebih konkrit. Mengapa? Agar umat manusia tidak lupa dari konteks masalah konkret yang dihadapinya secara bersama. Ada masalah kemiskinan dan ketidakadilan, ada masalah korupsi yang akut, ada masalah ancaman lingkungan hidup, ada masalah kekerasan dan konflik, dan seterusnya.
Dalam konteks ini, maka perbincangan mengenai masalah moralitas sesungguhnya merupakan bagian integral dari upaya mencari solusi secara holistik dalam mengatasi masalah-masalah konkret tersebut. Ada masalah budaya kemanusiaan yang sedang dan akan terus diperjuangkan. Agar nilai-nilai moralitas kemanusiaan universal akan terus dapat menjadi fondasi yang kokoh dalam menopang tegaknya sebuah peradaban umat manusia.