Rabu, 22 Mei 2013

Individu dan Masyarakat









Setiap orang itu adalah suatu kenyataan perorangan yang tidak terbagi, dimana masing-masing orang menjadi “instansi” juga nantinya pertanggungjawaban terakhir dan mutlak dalam pengadilan sejarah kehidupan. Setiap  perorangan itu juga yang nantinya dituntut untuk menunjukkan diri sebagai makhluk social yang bermoral, dan bertanggung jawab, dimana kemudian akan memikul segala amal perbuatannya yang tidak mungkin mampu mendelegasikan kepada pribadi yang lain.
Seperti yang dikatakan Kakanda Buana Raja yaitu dimana nilai pada pribadi adalah sama dengan nilai kemanusiaan universal, sebagaimana nilai kemanusiaan universal adalah sama dengan nilai kosmis seluruh alam.

Pada dasarnya, apakah manusia makhluk sosial ?

Hal itu telah dibahas sejak dulu. Apakah sejak dulu manusia itu tercipta sebagai makhluk sosil ? Atau, atau tercipta sebagai bagian keseluruhan ? atau dapat menyatu dengan keseluruhannya ? Atau terpaksan bermasyarakat ?
Jika kita mampu mencerna dengan baik maka jawabannya cukup sederhana yaitu dimana manusia dengan melalui akalnya, dapat menyadari bahwa dengan kerja sama dan kehidupan bersama manusia dapat lebih menikmati bagaimana alam ini dan apa saja kenikmatan yang ada di dalamnya. Itu artinya sesuai dengan keinginannya sendiri.
Perlu kita ketahui bahkan seperti yang dikatakan Cak Nur bahwa tidak boleh menjadi alasan bagi manusia untuk kehilangan perspektif dan berani menyatakan untuk melepaskan tugas sucinya sebagai saksi-saksi Tuhan di bumi yang menuntut rasa keadilan dan keseimbangan dalam penilaian, di mana misi itu adalah “kemenangan manusia itu sendiri”. Oleh karena itu saya dapat menyimpulkan bahwa baik karena fitrahnya, terpaksa, atau karena pilihannya sendiri, manusia hidup bermasyarakat.



Sabtu, 18 Mei 2013

Isyarat Yang Bersujud



Duluai... Duluai... Duluai...
Duluai...Duluai...Duluai...

Wahai kau penunggu kemarau
Dengan kesaksian jarum jam
Impianmu pun terlempar
Sampai ke altar yang kian memudar
Dan usiamupun tersamar

Sesekali merenungi usaha
Yang keinginan semakin menyapu

Bibir berzikir
Kepala tak henti berfikir dan
Hatipun serasa tersingkir





Ogenk Htk. 2013

Makkundrai dan Meja Tua

Terangkul inspirasi menuju cerita
Dengan modalkan dudukan kaki empat dan sandaran setengah bahu yang tak pernah hendak menunggu kopiku berlabu.
Mengapa ?
Sebab, mejaku belum ada.
Di samping terlihat,
Meja tua paket perempuan seraya menuntutku untuk mengangkat kursiku dan duduk di depannya.
Tak sangka
Dia bertanya : Hauskah ?
Aku jawab : Yah, aku ingin secangkir kopi
Buatlah dengan gula yang tak semua melarut
Sebab kelak kau bertanya, maka sempurnahlah kenikmatan
Dengan separuh adukan gula yang kau tuang, berputar dalam ruang dan waktu,
Gula melarut air memanis
Pada meja tua ini
Aku mencatat hal-hal menjadi sebuah cerita
Taukah kau
Meja tua menuliskan
Sewaktu-waktu kita akan singgah
Untuk lanjutkan cerita
Yang tak lagi basah
Maaf, aku tak habiskan kopi
Sebab nanti
Aku akan kembali
Di sini,
Di meja tua ini

Noersy Ogenk, 16 Mei 2013