Masih
saja ada kekeluan ketika kita berhadapan dengan masalah moralitas.
Masalah moralitas seringkali hanya dianggap sebagai urusan yang sangat
bersifat pribadi. Tidak perlu diungkap, atau apalagi diperbincangkan di
ruang publik. Celakanya, masalah moralitas seringkali masih
dipersepsikan dan diberi reaksi secara kurang tepat, dan stigmatik.
Seseorang akan dengan mudah untuk melabelkan cap sebagai sesuatu yang
“sok moralis”, “sok suci” atau “sok alim”.
Sebuah
kondisi psikologi yang amat mungkin cenderung berakar pada fobia
terhadap agama. Ada resistensi yang cukup kuat atas segala sesuatu yang
berasal dan berbau agama. Benarkah demikian? Sesungguhnya, moralitas
bukanlah identik dengan agama. Moralitas adalah bagian dari nilai-nilai
kemanusiaan universal.
Lalu,
untuk apa nilai-nilai moral itu? Sejatinya, untuk kemanusiaan itu
sendiri, agar dapat dihadirkan secara lebih beradab dan mampu meneruskan
tugas-tugas kemanusiaan secara berkesinambungan. Agar umat manusia
mampu mempertahankan kehidupannya di muka bumi ini.
Tanpa
moralitas, maka kemanusiaan akan hancur. Mengapa? Karena moralitas pada
hakikatnya merupakan fondasi yang kokoh dalam menopang kemanusiaan.
Tanpa moralitas yang kokoh, maka peradaban umat manusia hanya menunggu
waktu untuk kepunahannya.
Itulah
mengapa, bangsa-bangsa dengan peradaban yang maju selalu ditopang oleh
basis moral yang kuat. Tak akan maju sebuah bangsa yang tidak didasarkan
pada moralitas atau etik yang tegar dan kuat. Ada kebenaran, kejujuran,
ketulusan, ada harga diri, kehormatan, kebanggaan, kesetiaan, ada
tanggung jawab, kepercayaan, penghargaan, ada kebaikan, kebijaksanaan,
kelembutan, ada persaudaraan, perdamaian, kasih, sayang, dan cinta, dan
seterusnya.
Agama,
memang salah satu sumber nilai-nilai moral. Namun, agama bukanlah
satu-satunya sumber moralitas bagi umat manusia. Ada banyak lagi sumber
moral selain berasal dari agama. Ada filsafat, ada ilmu pengetahuan, ada
seni, dan lain-lain. Namun, intinya sama saja, semua berasal dari akal
budi manusia yang dianggap berbeda dengan jenis makhluk lainnya.
Sebagai
contoh, berbuat telanjang pada dasarnya sah-sah saja, tidak ada yang
salah. Namun, ketelanjangan memiliki konteks ruang dan waktu yang
dianggap cocok. Penempatan ketelanjangan secara sembarangan dianggap
akan melukai nilai-nilai kemanusiaan universal, yang berakar pada
filosofi bahwa manusia merupakan mahluk yang lebih terhormat dan beradab
dibandingkan mahluk lainnya.
Pun,
demikian ketika kita hendak berbicara atau mengungkapkan ekspresi
tentang ketelanjangan. Penghargaan atas nilai-nilai kemanusiaan
universal, perlu untuk selalu dipertimbangkan saat kita hendak menilai
sebuah kepantasan dan kewajaran berekspresi. Selalu ada ruang terbuka
untuk bebas berekspresi, namun akan selalu ada moralitas bersama yang
mengatur tentang dimana sebaiknya kepantasan dan kewajaran berkspresi
itu ditempatkan.
Tentu
saja akan ada ruang relativitas untuk masalah moralitas. Selalu akan
ada penyesuaian dari waktu ke waktu, dan dari tempat yang satu ke tempat
yang lainnya. Setiap individu atau kelompok memiliki hak untuk
mengusung dan mempromosikan pandangan yang dianggapnya sesuai dan
mewakili kepentingannya. Ada ruang, dimana akan terjadi interaksi dan
dialog mengenai sikap dan pandangan itu, untuk kemudian melahirkan
relativisme moralitas yang dianggap lebih objektif.
Kejujuran
yang mendalam adalah kuncinya. Bersikap toleran atas kepentingan umum
yang lebih besar adalah keinsyafan yang jauh lebih utama. Agar selubung
atas nama apapun tidak memiliki kesempatan untuk menutupi akar masalah
yang sesungguhnya. Agar konteks masalahnya tidak kemudian menjadi lari
ke sana kemari, menjadi sekedar perdebatan tentang “batas-batas”
ketelanjangan atas nama klaim relativisme dan absurdisme yang kian
mengaburkan masalah yang sebenarnya.
Betapapun
relatif dan sangat absurd, namun masalah kemanusiaan haruslah hadir
pada tataran yang lebih konkrit. Mengapa? Agar umat manusia tidak lupa
dari konteks masalah konkret yang dihadapinya secara bersama. Ada
masalah kemiskinan dan ketidakadilan, ada masalah korupsi yang akut, ada
masalah ancaman lingkungan hidup, ada masalah kekerasan dan konflik,
dan seterusnya.
Dalam
konteks ini, maka perbincangan mengenai masalah moralitas sesungguhnya
merupakan bagian integral dari upaya mencari solusi secara holistik
dalam mengatasi masalah-masalah konkret tersebut. Ada masalah budaya
kemanusiaan yang sedang dan akan terus diperjuangkan. Agar nilai-nilai
moralitas kemanusiaan universal akan terus dapat menjadi fondasi yang
kokoh dalam menopang tegaknya sebuah peradaban umat manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar