Kamis, 28 Juli 2011

Nilai Sosial Novel Ketika Cinta Bertasbih


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sastra merupakan bentuk kreatif dan produktif dalam menghasilkan sebuah teks yang memiliki nilai rasa estetis serta mencerminkan realitas sosial kemasyarakatan. Istilah „sastra dipakai untuk menyebut gejala budaya yang dapat dijumpai pada semua masyarakat meskipun secara sosial, ekonomi, dan keagamaan keberadaannya tidak merupakan keharusan. Hal ini berarti bahwa sastra merupakan gejala yang universal (Jabrohim (ed), 2003 : 9).
Sebagai wujud seni budaya, sastra memiliki dunia sendiri yang merupakan pengejawantahan kehidupan sebagai hasil pengamatan sastrawan terhadap kehidupan sekitarnya. Dalam kaitannya dengan sastra pada umumnya orang sepakat bahwa sastra dipahami sebagai satu bentuk kegiatan manusia yang tergolong pada karya seni yang menggunakan bahasa sebagai bahan. Jadi, bahan merupakan karakteristik sastra sebagai karya seni. Namun, pertanyaan demikian belum akan menjawab secara memuaskan tentang apakah sastra itu. Sebagai satu sistem, sastra merupakan satu kebulatan dalam arti dapat dilihat dari berbagai sisi. Di antaranya adalah sisi bahan. Elis (dalam Jabrohim (ed), 2003: 10) mengemukakan tentang konsep sastra bahwa (teks) sastra tidak ditentukan oleh bentuk strukturnya tetapi oleh bahasa yang digunakan oleh masyarakat. Ini menunjukkan pengertian bahwa bahasa yang dipakai mengandung fungsi yang lebih umum daripada dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil dari imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya. Oleh karena itu, kehadiran karya sastra merupakan bagian dari kehidupan masyarakat. Pengarang sebagai subjek individual mencoba mengahasilkan pandangan dunianya (vision du monde) kepada subjek kolektifnya. Signifikansi yang dilaborasikan subjek individual terhadap realitas sosial di sekitarnya menunjukkan sebuah karya sastra berakar pada kultur tertentu dan masyarakat tertentu. Keberadaan sastra yang demikian itu, menjadikan sastra dapat diposisikan sebagai dokumen sosialnya (Jabrohim (ed), 2003: 59).
Di antara genre utama karya sastra yaitu puisi, prosa, dan drama, genre prosalah, khususnya novel yang dianggap paling dominan dalam menampilkan unsur-unsur sosial. Alasan yang dapat dikemukakan, di antaranya: a) novel menampilkan unsur-unsur cerita yang paling lengkap, memiliki media yang paling luas, menyajikan masalah-masalah kemasyarakatan yang paling luas, b) bahasa novel cenderung merupakan bahasa sehari-hari, bahasa yang paling umum digunakan dalam masyarakat. Oleh karena itulah, dikatakan bahwa novel merupakan genre yang paling sosiologis dan responsif sebab sangat peka terhadap fluktuasi sosiohistoris (Ratna, 2006: 335-336).
Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai cermin masyarakat (Endraswara, 2003: 77). Sosiologi sastra diterapkan dalam penelitian ini karena tujuan dari sosiologi sastra adalah meningkatkan pemahaman terhadap sastra dalam kaitannya dengan masyarakat, menjelaskan bahwa rekaan tidak berlawanan dengan kenyataan dalam hal ini karya sastra dikonstuksikan secara imajinatif, tetapi kerangka imajinatifnya tidak bisa dipahami di luar kerangka empirisnya dan karya sastra bukan semata-mata merupakan gejala individual tetapi gejala sosial (Ratna, 2003: 11).
Kelebihan Novel Ketika Cinta Bertasbih merupakan novel yang mengajarkan kepada pembaca untuk mencintai ilmu agama, kehidupan masyarakat yang bersahaja, dan selalu terbuka kepada segala kemungkinan ketika Allah telah menghendaki (Salma, 2009: Diakses 22 Februari 2010). Dalam novel ini diceritakan bagaimana para tokohnya menjalani hidup dengan selalu berpedoman pada Al-Quran dan Al Hadist. Selain itu para tokoh dalam cerita ini juga bisa hidup berdampingan dengan rukun dan saling menyayangi walaupun terdapat perbedaan suku, budaya dan kelas sosial.
B.     Rumusan Masalah
Untuk mendapatkan hasil penelitian yang terarah, maka diperlukan suatu perumusan masalah. Di dalam penelitian ini permasalahan dirumuskan sebagai berikut :
1.      Bagaimana struktur yang membangun novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy ?
2.      Bagaimana masalah-masalah sosial dalam novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy dengan tinjauan sosiologi sastra?
C.    Tujuan Penelitian
Agar penelitian tercapai dengan baik dan memuaskan, maka harus ada tujuan yang jelas. Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.      Mendeskripsikan struktur yang membangun novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy.
2.      Mendeskripsikan masalah-masalah sosial dalam novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy dengan tinjauan sosiologi sastra.
D.    Landasan Teori
1.      Pendekatan Strukturalisme
Pendekatan struktural di bidang bahasa yang dikemukakan (Saussure dalam Suryabrata, 2004: 15) dapat diterapkan dan dijadikan model untuk pedekatan ilmu-ilmu lain. Sementara itu, metode analisis struktural karya sastra bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semendetail dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua unsur karya sastra secara bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw dalam Suryabrata, 2004: 16-17). Unsur-unsur karya yang dimaksud dapat saja berupa karya sastra prosa, puisi, dan sebagainya, baik lisan maupun tulis. Unsur-unsur karya sastra prosa meliputi tema, alur, penokohan, latar, tegangan dan padahan, suasana, pusat pengisahan, serta gaya bahasa, sedangkan unsur-unsur karya sastra puisi meliputi tema, daya bayang, rima dan irama (Suharianto dalam Suryabrata, 2004: 17).
Analisis struktural bukanlah penjumlahan unsur-unsur yang ada di dalam karya sastra, tetapi yang terpenting adalah sumbangan yang diberikan oleh masing-masing unsur dalam menghasilkan makna atas keterkaitan dan keterjalinan antara beberapa tataran fonik, morfologis, sintaksis dan semantik (Teeuw dalam Suryabrata , 2004: 17).
Satu konsep dasar yang menjadi ciri khas teori struktural adalah anggapan bahwa di dalam dirinya sendiri karya sastra merupakan suatu struktur yang otonom yang dapat dipahami sebagai satu kesatuan yang bulat dengan unsur-unsur pembangunannya yang saling berjalinan (Pradopo, 2002: 6).
Analisis struktural merupakan cara kerja pertama yang dilakukan dalam penelitian sastra sebelum diterapkannya analisis yang lain. Tanpa analisis struktural tersebut, kebulatan makna instrinsik yang dapat digali dari karya tersebut tidak dapat ditangkap. Unsur-unsur karya sastra hanya dapat ditangkap, dipahami sepenuhnya atas dasar pemahaman tempat dan fungsi unsur-unsur instrinsik dalam keseluruhan karya sastra (Teew dalam Suryabrata , 2004: 16).
2.      Teori Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra berkembang dengan pesat sejak penelitian-penelitian dengan memanfaatkan teori strukturalisme dianggap mengalami kemunduran, stagnasi, bahkan dianggap sebagai involusi. Analisis strukturalisme dianggap mengabaikan relevansi masyarakat yang merupakan asal-usulnya. Dipicu oleh kesadaran bahwa karya sastra harus difungsikan sama dengan aspek-aspek kebudayaan lain maka dilakukan pengembalian karya sastra di tengah-tengah masyarakat, sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan sistem komunikasi secara keseluruhan.
Fungsi sosial sastra menurut Watt (Endraswara, 2003: 81) akan berkaitan dengan pertanyaan: seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial dan sampai seberapa jauh nilai sastra dipengaruhi oleh nilai sosial. Dalam hal ini ada tiga hal yang perlu diungkap: (a) sudut pandang kaum romantik yang menganggap sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi, dalam pandangan ini tercakup wawasan agar sastra berfungsi sebagai pembaharu atau perombak; (b) sudut pandang bahwa karya sastra bertugas sebagai penghibur belaka; (c) semacam kompromi dapat dicapai dengan meminjam slogan klasik sastra harus mengajarkan ke suatu dengan jalan menghibur.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Unsur-Unsur Intrinsik
Apresiasi Berdasarkan Unsur-Unsur Intrinsik :
1.      Tema
“ Perjuangan hidup untuk mengapai kebahagiaan”
2.      Setting / Loka
Dalam novel ini tempat yang dipakai penulis untuk mengisi ceritanya terletak di Cairo, di Desa Kartasura, Desa Wangen jawa.
3.      Perwatakan / Krakter
a.      Anna Althafunnisa ; Seorang gadis yang sangat sempurna dimata semua orang, selain pintar dan cantiknya, dia juga mempunyai budi pekerti yang baik.
b.      Khairul Azzam ; Seorang Pemuda yang bertanggung jawab terhadap keluarga dan atas setiap perbuatannya dan menjadi suami dari Anna Althafunnisa.
c.       Furqan Andi Hasan ; Seorang pemuda yang pernah menjadi suami I Anna dan bercerai karena suatu masalah yang sangat serius.
d.      Kiai Lutfi ; Seorang Ayah yang sangat bertanggung jawab atas perbuatannya dan dapat menjadi panutan bagi masyarakat.
e.       Ayatul Husna ; Gadis yang sangat menyayangi keluarganya dan menjadi perantara yang mempertemukan Anna dengan Azzam ketika di Indonesia
4.      Alur
Alur adalah rangkaian peristiwa yang memiliki hubungan sebab akibat sehingga menjadi satu-kesatuan yang padu, bulat, dan utuh. Sebuah cerita merupakan rangkaian peristiwa. Peristiwa yang dirangkaikan tersebut adalah susunan peristiwa yang lebih kecil. Rangkaian kejadian itu tidak hanya disusun berdasarkan komposisi cerita melainkan bergerak berdasarkan hubungan sebab akibat.
Dengan demikian Teknik pengaluran menurut Sudiro Satoto (1992: 27-28) ada dua yaitu, dengan jalan progresif (alur maju) yaitu dari tahap awal, tahap tengah atau puncak, dan tahap akhir terjadinya peristiwa, yang kedua dengan jalan regresif (alur mundur) yaitu bertolak dari akhir cerita, menuju tahap tengah atu puncak, dan berakhir pada tahap awal. Tahap progresif bersifat linear, sedangkan teknik regresif bersifat non linear. Bukti, Pertama dalam novel itu diceritakan tentang kehidupan Anna dan perjuangan Azzam mencari calon istri. Kedua dalam novel ini juga diceritakan kehidupan Anna sewaktu kecil. Selain itu masih banyak bukti yang lain.
a)      Latar Kejadian
-          Selepas magrib, bukti … selepas magrib ia mengajak Furqan jalan-jalan keliling kota Solo……
-          Pagi hari kira-kira pukul sepuluh. Bukti, Pagi itu kira-kira pukul sepuluh jenazah Pak Masykur dikebumikan.
-          Siang hari di Pesantren Wangen. Bukti: Dan siang hari itu Pesantren Wangen menggelarar acara besar yang berbeda dari hari-hari biasa.
b)      Latar Sosial
-          Sedih, bukti Bu Masykur terus meraung. Bu Mahbub yang tak lain adalah kakak kandung Bu Masykur  mencoba manghibur dan menenangkannya……
-          Indah, bukti …Dari desa Wangen, panorama gunung Merapi sangat jelas dan memukau.
-          Gemuruh, Bukti: begitu husna selesai bicara tepuk tangan ribuan santri bergemuruh beberapa saat lamanya.
-          Bahagia, bukti: Ayah dan ibunya sangat bahagia dengan keberhasilan studinya.
-          Sepi, bukti : Dan kini ia merasa dunia begitu sepi dan sunyi.
-          Hening, bukti: Suasana menjadi hening seketika, mata Husna menjadi berkaca-kaca. Haru, bukti: Husna menangis terisak-isak dalam pelukan kakaknya tercinta.
-          Senja hari, bukti : sinar matahari yang kekuning- kuningan perlahan mulai pudar.
5.      Sudut Pandang
Dalam novel ity penulis menggunakan sudut pandang orang ketiga, karena penulis menceritakan tokoh dengan menyebutkan namanya dengan nama panggilan atau menggunakan kata ganti orang ketiga.pengarang seakan- akan berdiri di luar pagar. Pengarang tidak memegang paranan apapun. Ia hanya menceritakan apa yang terjadi diantara tokoh-tokoh cerita yang dikarangnya.
6.      Gaya Bahasa
Adapun gaya bahasa yang digunakan yaitu asosiasi, hiperbola, sinisme, dan metonimia.
7.      Amanat
a.       Tanggung jawab anak sebagai kepala keluarga.
b.      Semangat perjuangan hidup.
c.       Menyampaikan pesan kesederhanaan.
d.      Perjuangan mencari cinta yang mengharap ridha Allah semata.
B.     Masalah Sosial
Masalah sosial adalah suatu kehidupan masyarakat yang sebelumnya normal menjadi terganggu akibat perubahan pada unsur-unsur dan kepentingan masyarakat (Syani 2002:182).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001:719) masalah adalah suatu persoalan yang harus diselesaikan (dipecahkan jalan keluarnya), sedangkan sosial (2001:1085) adalah segala sesuatu yang berkenaan dengan kemasyarakatan. Jadi masalah sosial adalah persoalan yang mengganggu pikiran manusia yang berkenaan dengan masyarakat. Menurut
Menurut Soerjono Soekanto (dalam Antok,2008) masalah sosial adalah suatu ketidaksesuaian antar unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat yang membahayakan kehidupan sosial. Jika terjadi bentrokan antara unsur-unsur yang ada dapat menimbulkan gangguan hubungan sosial seperti kegoyahan dalam kehidupan kelompok atau masyarakat.
Menurut Syani (2002: 188), di dalam kehidupan bermasyarakat sering ditemui beberapa masalah sosial yang antara lain sebagai berikut.
1)      Masalah Kriminalitas
Tumbuhnya kriminalitas disebabkan oleh adanya berbagai ketimpangan sosial, yaitu adanya gejala-gejala kemasyarakatan, seperti krisis ekonomi, adanya keinginan-keinginan yang tidak tersalur, tekanan-tekanan mental, dendam dan sebagainya.
2)      Masalah Kependudukan
Masalah kependudukan merupakan suatu sumber masalah sosial yang penting, oleh karena pertambahan penduduk dapat menghambat dalam pelaksanaan pembangunan, terutama jika pertambahannya tersebut tidak dapat terkontrol secara efektif.
3)      Masalah Kemiskinan
Kemiskinan dapat diartikan sebagai suatu keadaan di mana seseorang, keluarga atau anggota masyarakat tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara wajar sebagaimana anggota masyarakat lain pada umumnya. Menurut Emil Salim (dalam Syani, 2002: 190), bahwa kemiskinan lazimnya dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok.

4)      Masalah Pelacuran
Pelacuran merupakan masalah sosial yang cukup besar pengaruhnya bagi perkembangan moral.
5)      Masalah Lingkungan Hidup
Oleh karena manusia merupakan faktor yang dominan, maka sasaran telah tertuju pada pengaruh timbal balik antara manusia dengan lingkungan dalam berbagai aspeknya. Adanya pengaruh timbal balik tersebut, kemudian dapat menimbulkan masalah-masalah, baik itu masalah lingkungan sosial, lingkungan biologis, maupun lingkungan fisik.


BAB III
P E N U T U P

A.    Kesimpulan
1.      Teknik pengaluran menurut Sudiro Satoto (1992: 27-28) ada dua yaitu, dengan jalan progresif (alur maju) yaitu dari tahap awal, tahap tengah atau puncak, dan tahap akhir terjadinya peristiwa, yang kedua dengan jalan regresif (alur mundur) yaitu bertolak dari akhir cerita, menuju tahap tengah atu puncak, dan berakhir pada tahap awal.
2.      Masalah sosial adalah suatu ketidaksesuaian antar unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat yang membahayakan kehidupan sosial. Jika terjadi bentrokan antara unsur-unsur yang ada dapat menimbulkan gangguan hubungan sosial seperti kegoyahan dalam kehidupan kelompok atau masyarakat.
3.      Menurut Syani (2002: 188), di dalam kehidupan bermasyarakat sering ditemui beberapa masalah sosial yang antara lain sebagai berikut.
a.       Masalah Kriminalitas
b.      Masalah Kependudukan
c.       Masalah Kemiskinan
d.      Masalah Pelacuran
e.       Masalah Lingkungan Hidup
B.     Saran
Fenomena kereligiusan di dalam suatu karya sastra yang hadir dalam novel akan memiliki arti jika pembaca mampu memberikan interpretasi dan ini berarti ia memiliki bekal tentang nilai religius yang mewadai pengetahuan pembaca. Oleh karena itu, kita perlu banyak memahami lebih banyak nilai-nilai yang terkandung dalam Novel Ketika Cinta Bertasbih guna mewarnai hidup kita.

Selasa, 26 Juli 2011

PENDIDIKAN TENTANG PENGARUH KETERLIBATAN ORANG TUA TERHADAP MINAT MEMBACA ANAK DITINJAU DARI PENDEKATAN STRES LINGKUNGAN


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Tiap bulan September diperingati sebagai Bulan Gemar Membaca dan Hari Kunjung Perpustakaan. Melalui peingatan itu diharapkan masyarakat menjadi gemar membaca, khususnya anak-anak Sekolah Dasar (SD); sebab membaca adalah kunci untuk keberhasilan belajar siswa di sekolah. Kemampuan membaca dan minat membaca yang tinggi adalah modal dasar untuk keberhasilan anak dalam berbagai mata pelajaran.
Sejak tahun 1995 sampai sekarang, media massa selalu memuat berita mengenai minat membaca masyarakat, terutama minat membaca anak-anak SD. Misal harian Suara Merdeka menulis tajuk rencana dengan judul Kegemaran Membaca Belum Seperti Yang Diharapkan (Suara Merdeka, 1995). Kompas memuat artikel Rumah Baca, Upaya Menumbuhkan Minat Baca (Kompas, 1995) dan Pikiran Rakyat (2000) melalui tulisan Wakidi yang berjudul Minat Membaca Anak Sekolah Dasar juga ikut prihatin dengan minat membaca anak SD yang rendah. Media elektronik seperti televisi juga ikut menayangkan iklan layanan masyarakat untuk meningkatkan minat membaca.
Tulisan di surat kabar dan tayangan iklan layanan masyarakat di televisi pada intinya menyuarakan kepihatinan terhadap minat membaca anak-anak yang masih rendah. Padahal masalah minat membaca merupakan persoalan yang penting dalam dunia pendidikan. Anak-anak SD yang memiliki minat membaca tinggi akan berprestasi tinggi di sekolah, sebaliknya anak-anak SD yang memiliki minat membaca rendah, akan rendah pula prestasi belajarnya (Wigfield dan Guthrie, 1997).
Hampir tiap tahun orang tua diingatkan untuk menanamkan dan menumbuhkan minat membaca anak melalui media massa, namun keluhan bahwa minat membaca anak tetap rendah masih selalu terdengar. Nampaknya belum ditemukan cara yang efektif untuk melibatkan orang tua dalam menolong meningkatkan minat membaca. Belum banyak diteliti mengenai faktor-faktor yang menentukan bagaimana cara melibatkan orang tua untuk meningkatkan minat membaca anak. Mereka sering mengalami pertengkaran dalam masalah keuangan keluarga sehingga mengalami mentalitastiap hari. Mentalitas ini mkin bertambah tinggi oleh mentalitaskerja, tinggal di daerah kumuh, panas, bising dan sesak, persoalan kegagalan pendidikan anak dan laju kelahiran anak yang sulit dikendalikan. Tumpukan mentalitasini menyita dan membuang energi orang tua untuk hal yang negatif dan perhatian mereka tidak terpusat untuk terlibat menolong anak dalam membaca sehingga minat membaca anak tidak tumbuh dan berkembang.
Berdasarkan permasalahan tersebut, maka secara berurutan akan dibahas mengenai minat membaca anak, pendekatan mentalitaslingkungan dan yang terakhir pengaruh keterlibatan orang tua terhadap minat membaca anak ditinjau dari pendekatan mentalitaslingkungan.
B.     Permasalahan
1.      Bagaimana minat membaca pada anak usia dini ?
2.      Bagaimana pendekatan lingkungan dalam pendidikan pada anak usia dini ?
3.      Bagaimana pengaruh keterlibatan orang tua terhadap minat membaca anak ditinjau dari pendekatan mentalitas lingkungan ?
C.    Tujuan
Adapun tujuan pada pembahasan makalah ini yaitu dimana membahasa tentang minat membaca pada anak usia dini, pendekatan lingkungan dalam pendidikan anak usia dini, dan pengaruh keterlibatan orang tua terhadap minat membaca anak ditinjau dari pendekatan mentalitaslingkungan.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Minat Membaca Pada Anak
Aktivitas membaca akan dilakukan oleh anak atau tidak sangat ditentukan oleh minat anak terhadap aktivitas tersebut. Di sini nampak bahwa minat merupakan motivator yang kuat untuk melakukan suatu aktivitas.
Secara umum minat dapat diartikan sebagai suatu kecenderungan yang menyebabkan seseorang berusaha untuk mencari ataupun mencoba aktivitas-aktivitas dalam bidang tertentu. Minat juga diartikan sebagai sikap positif anak terhadap aspek-aspek lingkungan. Ada juga yang mengartikan minat sebagai kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan menikmati suatu aktivitas disertai dengan rasa senang.
Meichati (1972) mengartikan minat adalah perhatian yang kuat, intensif dan menguasai individu secara mendalam untuk tekun melalukan suatu aktivitas.
Aspek minat terdiri dari aspek kognitif dan aspek afektif. Aspek kognitif berupa konsep positif terhadap suatu obyek dan berpusat pada manfaat dari obyek tersebut. Aspek afektif nampak dalam rasa suka atau tidak senang dan kepuasan pribadi terhadap obyek tersebut.
Membaca adalah proses untuk memperoleh pengertian dari kombinasi beberapa huruf dan kata. Juel (1988) mengartikan bahwa membaca adalah proses untuk mengenal kata dan memadukan arti kata dalam kalimat dan struktur bacaan. Hasil akhir dari proses membaca adalah seseorang mampu membuat intisari dari bacaan.
Secara operasional Lilawati (1988) mengartikan minat membaca anak adalah suatu perhatian yang kuat dan mendalam disertai dengan perasaan senang terhadap kegiatan membaca sehingga mengarahkan anak untuk membaca dengan kemauannya sendiri. Aspek minat membaca meliputi kesenangan membaca, kesadaran akan manfaat membaca, frekuensi membaca dan jumlah buku bacaan yang pernah dibaca oleh anak. Sinambela (1993) mengartikan minat membaca adalah sikap positif dan adanya rasa keterikatan dalam diri anak terhadap aktivitas membaca dan tertarik terhadap buku bacaan. Aspek minat membaca meliputi kesenangan membaca, frekuensi membaca dan kesadaran akan manfaat membaca.
Berdasar pendapat-pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa minat membaca adalah kekuatan yang mendorong anak untuk memperhatikan, merasa tertarik dan senang terhadap aktivitas membaca sehingga mereka mau melakukan aktivitas membaca dengan kemauan sendiri. Aspek minat membaca meliputi kesenangan membaca, frekuensi membaca dan kesadaran akan manfaat membaca.
Minat membaca perlu ditanamkan dan ditumbuhkan sejak anak masih kecil sebab minat membaca pada anak tidak akan terbentuk dengan sendirinya, tetapi sangat dipengaruhi oleh stimulasi yang diperoleh dari lingkungan anak. Keluarga merupakan lingkungan paling awal dan dominan dalam menanamkan, menumbuhkan dan membina minat membaca anak. Orang tua perlu menanamkan kesadaran akan pentingnya membaca dalam kehidupan anak, setelah itu baru guru di sekolah, teman sebaya dan masyarakat.
Mulyani (1978) berpendapat bahwa tingkat perkembangan seseorang yang paling menguntungkan untuk pengembangan minat membaca adalah pada masa peka, yaitu sekitar usia 5 s/d 6 tahun. Kemudian minat membaca ini akan berkembang sampai dengan masa remaja.
Minat membaca pertama kali harus ditanamkan melalui pendidikan dan kebiasaan keluarga pada masa peka tersebut. Anak usia 5 s/d 6 tahun senang sekali mendengarkan cerita. Mula-mula mereka tertarik bukan pada isi ceritanya, tetapi pada kenikmatan yang diperoleh dalam kedekatannya dengan orang tua. Ketika duduk bersama atau duduk di pangkuan orang tua, anak merasakan adanya kasih sayang dan kelembutan. Suasana yang menyenangkan dan didukung oleh buku cerita yang penuh gambar-gambar indah akan membuat anak menjadi tertarik dan senang menikmati cerita dari buku. Melalui proses imitasi, anak akan suka menirukan aktivitas membacakan cerita yang dilakukan oleh orang tuanya. Peniruan ini akan semakin diulang bila anak juga sering melihat orang tua melakukan aktivitas membaca. Anak akan meniru gaya dan tingkah laku orang tua dalam membaca. Kemudian setelah anak mampu membaca sendiri, maka ia akan senang sekali mempraktekkan kemampuan membacanya dengan membaca sendiri buku-buku yang tersedia di rumah. Kemauan untuk membaca buku atas inisiatif diri sendiri ini adalah awal tumbuhnya minat membaca anak. Perkembangan selanjutnya dari minat membaca ini dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Ada dua kelompok besar faktor yang mempengaruhi minat membaca anak, yaitu faktor personal dan faktor institusional (Purves dan Beach, dalam Harris dan Sipay, 1980). Faktor personal adalah faktor-faktor yang ada dalam diri anak, yaitu meliputi usia, jenis kelamin, inteligensi, kemampuan membaca, sikap dan kebutuhan psikologis. Sedangkan faktor institusional adalah faktor-faktor di luar diri anak, yaitu meliputi ketersediaan jumlah buku-buku bacaan dan jenis-jenis bukunya, status sosial ekonomi orang tua dan latar belakang etnis, kemudian pengaruh orang tua, guru dan teman sebaya anak.
B.     Pendekatan Mentalitas Lingkungan
Pendekatan mentalitas lingkungan sering digunakan secara luas dalam psikologi lingkungan. Kepadatan penduduk dan kesesakan, tekanan kerja, bencana alam, polusi dll adalah lingkungan aversif yang mengancam kesejahteraan manusia. Sebagai variabel mediator, mentalitasdidefiniskan sebagai reaksi terhadap lingkungan aversif (Bell dkk, 1996). Reaksi tersebut meliputi komponen emosi, perilaku dan fisiologis. Komponen fisiologis sering dinamakan mentalitassistemik, sedangkan komponen emosi dan tingkah laku dinamakan mentalitaspsikologis. Karena mentalitassistemik dan mentalitaspsikologis adalah saling berkaitan dan tidak terjadi sendiri-sendiri, maka psikolog lingkungan biasanya memadukan keduanya dalam satu teori yang dinamakan model mentalitaslingkungan. Dalam model ini, mentalitas menunjuk kepada komponen lingkungan sedangkan response mentalitasmenunjukkan reaksi yang disebabkan oleh komponen lingkungan.
Ada tiga karakteristik utama mentalitas, yaitu peristiwa kataklismik (cataclysmic events), mentalitaspersonal (personal stressors) dan mentalitas latar belakang (background stressors). Kejadian atau peristiwa kataklismik memiliki beberapa karakteistik dasar, yaitu biasanya terjadi secara tiba-tiba dengan sedikit tanda-tanda atau bahkan tidak ada tanda-tanda akan terjadi suatu peristiwa. Pengaruhnya sangat kuat sehingga muncul response universal dan melibatkan sejumlah besar orang. Kekuatan kataklismik yang mendadak menimbulkan rasa bingung pada korban, biasanya membutuhkan usaha sangat besar untuk melakukan koping secara efektif. Koping mentalitasyang efektif berupa afiliasi satu sama lain dengan cara berbagi pendapat dan rasa. Bila koping tidak berhasil maka akan muncul ketidakberdayaan dan sikap pasif. Contoh peristiwa kataklismik adalah bencana alam, perang, kebocoran nuklir, kebakaran hebat dll.
Mentalitas personal meliputi kesakitan, kematian suami atau istri atau anak yang disayangi, pemutusan hubungan kerja dll yang biasanya dialami oleh seseorang dan membawa pengaruh yang buruk. Strategi koping yang efektif untuk mentalitas personal biasanya adalah dukungan sosial.
Background stressors dibedakan menjadi dua, yaitu daily hassles yang sering dinamakan juga mentalitas mikro, bersifat stabil dan intensitasnya rendah; misalnya adalah kehilangan barang, terlambat kerja, tekanan karena pekerjaan rumah tangga dan hal-hal lain yang bersifat rutin; dan ambient stressors atau mentalitas kronis yang bersifat global, misalnya polusi air dan udara, kebisingan, kepadatan dan kesesakan tempat hunian, kemacetan lalulintas dll yang bersifat masalah masyarakat pada umumnya.
Smet (1994) menemukan ada beberapa mentalitas dalam keluarga, yaitu perselisihan dalam masalah keuangan, perasaan saling acuh tak acuh, perbedaan yang tajam dalam menentukan tujuan, kebisingan karena suara radio, televisi atau tape yang dinyalakan dengan suara keras sekali, keluarga yang tinggal di lingkungan yang terlalu sesak, dan kehadiran adik baru. Mentalitas lain dalam keluarga adalah kehilangan anak yang disayangi akibat bencana alam, kesakitan atau kecelakaan, kematian suami atau istri.
Burr dan Klein (1994) menemukan ada enam mentalitas dalam mentalitaskeluarga, yaitu perekonomian keluarga menjadi bangkrut, anak mengalami cacat fisik atau mental sehingga harus di rawat di rumah sakit, remaja yang sulit dididik sehingga harus dibawa ke psikiater, anak yang mengalami penyempitan otot, ketidaksuburan pasangan suami dan istri, perubahan peran dalam rumah tangga.
Karakteristik response mentalitasmeliputi response fisiologis, strategi koping dan adaptasi. Response fisiologis bersifat otomatis dan menurut Selye (dalam Bell dkk, 1996) ada tiga tahap sindrome adaptasi umum yaitu tahap reaksi alarm, tahap resistensi dan tahap kelelahan. Reaksi alarm terhadap mentalitas bersifat proses otomatis, misal detak jantung meningkat, pengeluaran adrenalin, keringat dingin dll. Tahap resistensi juga dimulai dengan proses otomatis untuk menghadapi mentalitas, misal pada udara yang panas, secara otomatis tubuh mengeluarkan keringat. Bila mekanisme keseimbangan tidak tercapai, maka akan terjadi tahap ketiga, yaitu tahap kelelahan yang mengakibatkan beberapa penyakit seperti tukak lambung, pembengkakan adrenal dan gagal ginjal.
Strategi koping adalah perpaduan antara fungsi dari faktor individu dan situasional, meliputi melarikan diri dari mentalitas, serangan fisik atau verbal, dan kompromi. Pada dasarnya ada dua kategori strategi koping, yaitu aksi langsung atau berfokuskan pada masalah, misal mencari informasi, melarikan diri / menghindari mentalitas, mencoba memindahkan atau menghentikan mentalitas; dan paliatif atau berfokuskan emosi, misal menggunakan mekanisme pertahanan diri seperti penyangkalan, rasionalisasi, reaksi formasi dll, penggunaan obat-obatan, relaksasi dll. Adaptasi terjadi ketika stimulus aversif muncul berulang kali dan response mentalitasterhadap mentalitas menjadi makin lemah dan bertambah lemah. Proses berikutnya setelah adaptasi adalah terjadi aftereffects, yaitu akibat jangka panjang setelah mentalitas berhenti.
C.    Pengaruh Keterlibatan Orang Tua terhadap Minat Membaca Anak Ditinjau dari Pendekatan Mentalitas Lingkungan
Dalam keluarga yang miskin, penghasilan suami dan atau istri yang rendah sering menjadi pemicu pertengkaran dalam keluarga. Akibat lebih lanjut dari pertengkaran adalah suami dan istri menjadi saling tidak peduli. Orang tua dengan tingkat pendidikan yang rendah ternyata sulit untuk mengendalikan kelahiran anak, sehingga jumlah kelahiran anak menjadi bertambah (Semaoen, Hani, Kiptiyah, 2000). Kehadiran anak atau adik baru bagi anak yang lebih tua menimbulkan mentalitasbagi ibu dan ayah. Ibu akan merasakan mentalitasselama kehamilan, apalagi bila anak yang dikandung adalah anak yang ketiga atau keempat dimana muncul rasa bersalah tidak mentaati program Keluarga Berencana, dan pasca melahirkan. Mentalitaspada ayah berkaitan dengan rasa kuatir akan berubahnya interaksi antara suami dan istri dan timbul kekuatiran akan tambahan beaya hidup.
Biasanya keluarga miskin ini tinggal di kantong-kantong kemiskinan dengan luas rumah yang sangat terbatas, kumuh, panas, bising dan sesak. Tinggal di lingkungan yang terlalu sesak dapat menimbulkan mentalitasdan akibat selanjutnya orang menjadi kurang suka menolong orang lain (Bell dkk, 1996).
Keluarga yang tinggal di daerah slums, biasanya tetap memiliki gambaran kualitas rumah yang ideal. Mereka biasanya masih mendambakan rumah berkualitas dengan ciri-ciri adanya kontinuitas, yaitu rasa memiliki rumah secara permanen; ada privasi, ada tempat untuk mengekspresikan diri, identitas personal yaitu berkaitan dengan simbol diri mereka dan keinginan untuk menunjukkan rumah kepada orang lain; relasi sosial, kehangatan dan tempat untuk berteduh dan berlindung (Smith, 1994). Ketiadaan ruang untuk ekspresi diri, yaitu untuk mengembangkan intelektual dan kepribadian anak; maupun kehangatan yang ditandai dengan adanya suasana persahabatan dan dukungan untuk berprestasi, menghalangi orang tua untuk menolong anak dalam aktivitas membaca maupun aktivitas belajar yang lain.
Perselisihan dalam keluarga, perasaan saling tidak peduli, kesesakan karena keterbatasan luas rumah dan terlalu banyak anak, kebisingan, kurang ruang untuk ekspresi diri dan kehangatan merupakan mentalitas yang kuat dalam keluarga miskin. Mentalitas ini masih ditambah dengan adanya interaksi orang tua dengan fihak lain di luar lingkungan rumah, yaitu tekanan kerja di tempat kerja. Ada konflik antara tuntutan kerja dengan tuntutan keluarga. Keluarga menuntut penghasilan yang lebih tinggi untuk menutup beaya kehidupan sehari-hari, sedangkan di tempat kerja orang tua juga dituntut untuk lebih profesional dalam bekerja namun tidak mampu karena keterbatasan tingkat pendidikan dan kekurangan ketrampilan kerja.
Mentalitas yang lain adalah pengalaman mentalitasanak-anak di sekolah. Orang tua jarang terlibat untuk membantu anak dalam mengerjakan pekerjaan rumah maupun aktivitas belajar anak yang lain menyebabkan anak tidak mampu mengerjakan pekerjaan rumah. Ketidakbiasaan membuat pekerjaan rumah menjadikan anak tidak terlatih sehingga anak sering gagal dan ditertawakan bila harus mengerjakan tugas di depan kelas. Dua hal ini menjadikan anak juga mengalami stres. Orang tua juga akan bertambah mentalitasketika dipanggil oleh pihak sekolah guna mempertanggungjawabkan kegagalan pendidikan anak.
Mentalitas dalam keluarga berinteraksi dengan mentalitasdari luar lingkungan rumah menimbulkan mentalitas tingkat tinggi dalam diri orang tua. Hal ini menyita waktu orang tua dan membuang energi dan perhatian mereka sehingga secara psikologis mereka tidak mampu untuk terlibat menolong anak dalam aktivitas membaca. Ketidakterlibatan orang tua dalam aktivitas membaca mengakibatkan minat membaca anak tetap rendah (Grolnick dkk, 1997).
Penelitian Grolnick dkk ini berbeda dengan hasil penemuan Morrow dan Young (1997) yang menemukan bahwa kegiatan membaca bersama antara anak dan orang tuanya berpengaruh terhadap sikap dan minat membaca anak. Melalui program membaca bersama antara orang tua dan anak, anak-anak menjadi suka mengisi waktu luangnya dengan aktivitas membaca, mereka suka membaca bersama orang dewasa yang lain, suka membaca majalah dan buku-buku yang ada di rumah dan di perpustakaan sekolah. Kondisi sosial ekonomi keluarga dalam penelitian Morrow dan Young juga tergolong rendah, namun mereka merasa mendapat dukungan sosial melalui program membaca keluarga. Buku-buku dan perlengkapan membaca merupakan dukungan instrumental untuk mendidik anak, program pelatihan untuk orang tua agar terlibat secara efektif dalam program membaca keluarga merupakan dukungan informatif yang sangat berguna bagi orang tua untuk memberikan dukungan penghargaan dan emosi kepada anak saat mereka membaca bersama.

BAB III
P E N U T U P

A.    Kesimpulan
Minat membaca perlu ditanamkan dan ditumbuhkan sejak anak masih kecil sebab minat membaca pada anak tidak akan terbentuk dengan sendirinya, tetapi sangat dipengaruhi oleh stimulasi yang diperoleh dari lingkungan anak. Keluarga merupakan lingkungan paling awal dan dominan dalam menanamkan, menumbuhkan dan membina minat membaca anak. Orang tua perlu menanamkan kesadaran akan pentingnya membaca dalam kehidupan anak, setelah itu baru guru di sekolah, teman sebaya dan masyarakat.
Ada tiga karakteristik utama mentalitas, yaitu peristiwa kataklismik (cataclysmic events), mentalitaspersonal (personal stressors) dan mentalitas latar belakang (background stressors). Kejadian atau peristiwa kataklismik memiliki beberapa karakteistik dasar, yaitu biasanya terjadi secara tiba-tiba dengan sedikit tanda-tanda atau bahkan tidak ada tanda-tanda akan terjadi suatu peristiwa. Pengaruhnya sangat kuat sehingga muncul response universal dan melibatkan sejumlah besar orang. Kekuatan kataklismik yang mendadak menimbulkan rasa bingung pada korban, biasanya membutuhkan usaha sangat besar untuk melakukan koping secara efektif. Koping mentalitasyang efektif berupa afiliasi satu sama lain dengan cara berbagi pendapat dan rasa. Bila koping tidak berhasil maka akan muncul ketidakberdayaan dan sikap pasif.
Perselisihan dalam keluarga, perasaan saling tidak peduli, kesesakan karena keterbatasan luas rumah dan terlalu banyak anak, kebisingan, kurang ruang untuk ekspresi diri dan kehangatan merupakan mentalitas yang kuat dalam keluarga miskin.

B.     Saran
Pendekatan mentalitaslingkungan dapat digunakan untuk menolong memprediksikan bermacam-macam akibat yang ditimbulkan oleh kerusakan lingkungan fisik, sosial maupun psikologis. Namun perlu dicermati bahwa pendekatan mentalitaslingkungan secara tunggal sering menimbulkan kekaburan dalam mengidentifikasi mentalitas. Oleh karena itu, Model mentalitaslingkungan juga sering sulit secara pasti memprediksikan strategi koping yang akan digunakan oleh keluarga untuk menghadapi mentalitas, sebab antara satu keluarga dengan keluarga lain mungkin berbeda walaupun tinggal dalam lingkungan dan kondisi sosial ekonomi sama. Ketergantungan pada konteks keluarga dan adanya perbedaan individual masih merupakan suatu tantangan psikologi lingkungan.


DAFTAR PUSTAKA

Wigfield dan Guthrie. 1997. Minat Membaca. Jakarta
Juel. 1988. Kombinasi Beberapa Huruf Dan Kata. Jakarta

KATA  PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, atas limpahan Rahmat dan hidayahmu penulis dapat menyajikan makalah yang berjudul :Perkembangan Intelek Pada Proses Pendidikan.

Penulis menyadari masih adanya kekurangan dalam penulisan makalah ini. Oleh sebab itu, mengharapkan kritik dan saran yang membangun, agar makalah ini bermanfaat dan demi kesempurnaan kedepannya.

                                                             
Unaaha,         2  Mei  2011

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL .................................................................................. i
KATA PENGANTAR ................................................................................ ii
DAFTAR ISI ............................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang .................................................................................. 1
B.     Indikasi Masalah ............................................................................... 2
C.     Tujuan ................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
A.    Hakekat Mengajar ............................................................................. 3
B.     Belajar Di Perguruan Tinggi............................................................... 4
C.     Belajar Aktif ...................................................................................... 6
D.    Cara Kerja Otak ................................................................................ 7
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan ........................................................................................ 8
B.     Saran .................................................................................................. 8
DAFTAR PUSTAKA