Untuk mengkaji petualangan mahasiswa kita harus membuka cakrawala pengetahuan agar lebih komprehensif, karena mahasiswa bukanlah fenomena yang sederhana dan mudah kita pahami hanya dengan sebelah mata. Di tubuh mahasiswa terdapat pelapisan yang cukup heterogen. Dimana dalam tubuh mahasiswa terdapat pelapisan dalam membangun kesadaran berbangsa, berpolitik, dan beragama.
Ada tiga tipe kesadaran mahasiswa menurut paulo freire yaitu mahasiswa Tenggelam, Muncul, Terbuka.
Pertama,
mahasiswa tertutup dengan kesadaran “tenggelam” mereka bergantung kepada
masarakat sentral yang memanipulasi. Ia membiarkan kaum elit, meminjam istilah
netzche “tuhan yang tampak” atau manusia superman dengan kehendak kuasanya
memaksakan pola-pola budaya dan agama mereka mengeksploitasi massa. Tipe
Mahasiswa seperti ini tidak pernah terangsang untuk berpartisipasi dalam
kehidupan social politik, social keagamaan, sehingga melahirkan budaya bisu.
kesadaran mahasiswa yang tenggelam melahirkan model pembacaan
tekstual-formalistik. Model Pembacaan ini memusat kepada teks, menjadikan teks
sebagai media representasi sang pengarang. Menjadikan sebuah kebenaran yang
tidak bisa disentuh oleh realitas diluar teks, inilah yang dalam analisis
wacana dinamakan “eksternalisasi teks” model ini melahirkan pemikiran keislaman
yang bersifat introver-strukturalistik. Mahasiswa dengan kesadaran ini
mengikuti arus pemikiran penguasa dalam menafsirkan teks keislaman, sehingga
dengan sikap ketertutupannya terhadap dunia luar membuat mahasiswa itu sendiri
terperangkap oleh “jaring-jaring kuasa” yang telah mereduksi pesan tuhan dengan
kepentingan personal sipembuat teks. Model pembacaan ini menurut abide al
jabiri adalah nalar bayani.
Kedua,
mahasiswa retak kesadarannya mulai “muncul”, ia tidak lagi bisu, ia mulai
berpikir dan menyadari ketergantungannya, namun mereka tidak bisa bersikap dan
berbuat banyak sehingga masih tetap berada dibawah kendali “kuda-kuda kuasa”.
Model kesadaran mahasiswa yang mulai muncul melahirkan model pembacaan tekstual
pasif, dalam arti kata membaca sebuah teks keislaman dengan rasa curiga
terhadap sipembuat teks. Mereka tahu bahwa dirinya sebenarnya dibelenggu oleh
penafsir melalui pemikirannya yang tertuang dalam teks yang dibacanya. namun
mereka tidak berani untuk melakukan pembacaan yang berbeda terhadap sebuah teks
yang diragukan keotentikannya, karena mereka meyakini bahwa dirinya tidak punya
kekuasaan, keberanian dan kekuatan untuk melampaui teks yang menjadi sasaran
empuk untuk ditafsirkan. Sehingga mereka tetap berada dalam belenggu penafsir.
Tipe mahasiswa ini tidak mampu berbuat apa-apa, mereka hanya memendam keinginan
itu sebagai bentuk kerja imajinasi yang bersifat utopis dan pada akhirnya untuk
menyalurkan keinginannya mereka menggunakan jalan lain untuk mencari islam
dengan kekuatan intuisi. Kekuatan ini dalam istilah abied al jabiri dinamakan
nalar irfani yang sering digunakan oleh orang sufi.
Ketiga,
mahasiswa terbuka dengan kesadaran kritis, mereka selalu bersikap kreatif
dengan selalu curiga terhadap karya orang lain khususnya “manusia superman”. Ia
selalu menolak sesuatu yang memaksa dirinya dan menghilangkan kesadarannya.
Kesadaran mahasiswa kritis melahirkan pembacaan kritis kontekstual yang memusat
kepada pembaca dalam menasirkan teks keislaman. Tipe mahasiswa ini meyakin
bahwa dalam sebuah teks, ada kekuatan ideology pengarang yang bersembunyi
dibalik teks. Untuk menghilangkan jejak pengarang, mereka keluar dari lingkaran
kuasa sipembuat teks dan menafsirkan teks sesuai dengan konteks dimana teks itu
ditafsirkan. Model ini oleh abide al jabiri dinamakan nalar burhani yang emusat
kepada pembaca dan memperhatikan realitas, karena teks merupakan cermin retak
dari realitas atau istilah hanafi “realitas mendahului pemikiran”.
Ketiga tipe tersebut
akan mempengaruhi model pemikiran mahasiswa dalam membaca teks keislaman yang
berwarna warni.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar