Kamis, 22 Desember 2011

Tipologi Kesadaran Mahasiswa dan Konstruksi Pemikiran Islam


Untuk mengkaji petualangan mahasiswa kita harus membuka cakrawala pengetahuan agar lebih komprehensif, karena mahasiswa bukanlah fenomena yang sederhana dan mudah kita pahami hanya dengan sebelah mata. Di tubuh mahasiswa terdapat pelapisan yang cukup heterogen. Dimana dalam tubuh mahasiswa terdapat pelapisan dalam membangun kesadaran berbangsa, berpolitik, dan beragama.
Ada tiga tipe kesadaran mahasiswa menurut paulo freire yaitu mahasiswa Tenggelam, Muncul, Terbuka.
Pertama, mahasiswa tertutup dengan kesadaran “tenggelam” mereka bergantung kepada masarakat sentral yang memanipulasi. Ia membiarkan kaum elit, meminjam istilah netzche “tuhan yang tampak” atau manusia superman dengan kehendak kuasanya memaksakan pola-pola budaya dan agama mereka mengeksploitasi massa. Tipe Mahasiswa seperti ini tidak pernah terangsang untuk berpartisipasi dalam kehidupan social politik, social keagamaan, sehingga melahirkan budaya bisu. kesadaran mahasiswa yang tenggelam melahirkan model pembacaan tekstual-formalistik. Model Pembacaan ini memusat kepada teks, menjadikan teks sebagai media representasi sang pengarang. Menjadikan sebuah kebenaran yang tidak bisa disentuh oleh realitas diluar teks, inilah yang dalam analisis wacana dinamakan “eksternalisasi teks” model ini melahirkan pemikiran keislaman yang bersifat introver-strukturalistik. Mahasiswa dengan kesadaran ini mengikuti arus pemikiran penguasa dalam menafsirkan teks keislaman, sehingga dengan sikap ketertutupannya terhadap dunia luar membuat mahasiswa itu sendiri terperangkap oleh “jaring-jaring kuasa” yang telah mereduksi pesan tuhan dengan kepentingan personal sipembuat teks. Model pembacaan ini menurut abide al jabiri adalah nalar bayani.
Kedua, mahasiswa retak kesadarannya mulai “muncul”, ia tidak lagi bisu, ia mulai berpikir dan menyadari ketergantungannya, namun mereka tidak bisa bersikap dan berbuat banyak sehingga masih tetap berada dibawah kendali “kuda-kuda kuasa”. Model kesadaran mahasiswa yang mulai muncul melahirkan model pembacaan tekstual pasif, dalam arti kata membaca sebuah teks keislaman dengan rasa curiga terhadap sipembuat teks. Mereka tahu bahwa dirinya sebenarnya dibelenggu oleh penafsir melalui pemikirannya yang tertuang dalam teks yang dibacanya. namun mereka tidak berani untuk melakukan pembacaan yang berbeda terhadap sebuah teks yang diragukan keotentikannya, karena mereka meyakini bahwa dirinya tidak punya kekuasaan, keberanian dan kekuatan untuk melampaui teks yang menjadi sasaran empuk untuk ditafsirkan. Sehingga mereka tetap berada dalam belenggu penafsir. Tipe mahasiswa ini tidak mampu berbuat apa-apa, mereka hanya memendam keinginan itu sebagai bentuk kerja imajinasi yang bersifat utopis dan pada akhirnya untuk menyalurkan keinginannya mereka menggunakan jalan lain untuk mencari islam dengan kekuatan intuisi. Kekuatan ini dalam istilah abied al jabiri dinamakan nalar irfani yang sering digunakan oleh orang sufi.
Ketiga, mahasiswa terbuka dengan kesadaran kritis, mereka selalu bersikap kreatif dengan selalu curiga terhadap karya orang lain khususnya “manusia superman”. Ia selalu menolak sesuatu yang memaksa dirinya dan menghilangkan kesadarannya. Kesadaran mahasiswa kritis melahirkan pembacaan kritis kontekstual yang memusat kepada pembaca dalam menasirkan teks keislaman. Tipe mahasiswa ini meyakin bahwa dalam sebuah teks, ada kekuatan ideology pengarang yang bersembunyi dibalik teks. Untuk menghilangkan jejak pengarang, mereka keluar dari lingkaran kuasa sipembuat teks dan menafsirkan teks sesuai dengan konteks dimana teks itu ditafsirkan. Model ini oleh abide al jabiri dinamakan nalar burhani yang emusat kepada pembaca dan memperhatikan realitas, karena teks merupakan cermin retak dari realitas atau istilah hanafi “realitas mendahului pemikiran”.
Ketiga tipe tersebut akan mempengaruhi model pemikiran mahasiswa dalam membaca teks keislaman yang berwarna warni.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar