Sabtu, 23 Juli 2011

Penilaian Kebutuhan dalam Rangka Penyusunan Konsep Mekanisme dan Prosedur Partisipasi Publik


A.   Pendahuluan
Laporan ini merupakan konsep awal (initial concept) yang berisi tentang penilaian kebutuhan dalam rangka penyusunan konsep mekanisme dan prosedur partisipasi publik dalam pembuatan undang-undang. Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dan undang-undang, suatu rancangan undang-undang (RUU) dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan pemerintah.[1] Hak inisiatif yang diberikan kepada tiga lembaga negara tersebut tentunya harus terbuka bagi ruang partisipasi publik karena publiklah yang akan disasar oleh undang-undang yang dinisiasi dan dihasilkan lembaga-lembaga negara tersebut.
Legitimiasi bagi ruang partisipasi publik antara lain tercantum dalam Pasal 53 UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan[2] (selanjutnya “UU 10/2004”) yang berbunyi, ““Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan undang-undang dan rancangan peraturan daerah.”
Ruang lingkup bahasan dalam laporan ini adalah hanya menyangkut penyusunan RUU inisiatif pemerintah. Terkait dengan hal tersebut, ada empat hal yang dibahas dalam laporan ini, yaitu (1) proses penyusunan RUU dan titik-titik partisipasi publik, (2) kendala-kendala partisipasi publik, (3) alternatif solusi, dan (4) peranan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (selanjutnya “Depkumham”). Peranan Depkumham sengaja ditonjolkan karena studi singkat atas laporan ini merupakan bantuan teknis Proyek Cappler-UNDP kepada Depkumham. Pada bagian akhir laporan ini dimuat lampiran mengenai tahap-tahap pembuatan undang-undang yang dikaitkan dengan kemungkinan kegiatan partisipasi publik yang dapat dilakukan.   
Selain melakukan kajian pustaka atas tulisan-tulisan yang berkenaan dengan partisipasi publik dalam penyusunan RUU, laporan ini juga didasarkan pada dua kali kegiatan focus group discussion (diskusi kelompok terpadu) pada tanggal 3 dan 8 Maret 2010, serta satu kali kegiatan konsultasi publik pada tanggal 10 Maret 2010. Sesuai dengan maksud dan tujuannya, diharapkan laporan ini dapat menjadi konsep awal bagi pembuatan konsep yang lebih utuh dan komprehensif tentang mekanisme dan prosedur partisipasi publik dalam penyusunan RUU inisiatif pemerintah.  

B.   Tinjauan Pustaka
            Mengapa suatu partisipasi publik dalam pembuatan undang-undang menjadi penting? Menjawab pertanyaan ini, Lothar Gundling mengemukakan beberapa alasan. Menurutnya, suatu partisipasi publik diperlukan dengan maksud untuk (a) memberikan masukan kepada pemerintah (informing the administration), (b) meningkatkan kesiapan masyarakat untuk menerima suatu keputusan (increasing the readiness of the public to accept decisions), (c) membantu perlindungan hukum (supplementing judicial protection), dan (d) mendemokratisasikan proses pengambilan keputusan (democratizing decision-making).[3] Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menilai bahwa setidaknya partisipasi akan meningkatkan efektivitas keberlakuan suatu peraturan perundang-undangan di masyarakat dan memberikan legitimasi atau dukungan politik terhadap pembentukan suatu peraturan perundang-undangan.[4]
            Pertanyaan berikutnya, siapa atau institusi apa yang dapat berpartisipasi dalam proses penyusunan suatu RUU? Secara formal, UUD 1945 hanya menyebut tiga institusi saja yang dapat mengajukan RUU, yaitu DPR, pemerintah, dan DPD. Untuk DPD, UUD 1945 menentukan hanya untuk bidang tertentu saja, yaitu bidang otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, dan yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.[5] Namun, bagi Jimly Asshiddiqie, semua pihak, baik dalam struktur kenegaraan maupun di luar struktur kenegaraan, dapat memprakarsai gagasan pembentukan peraturan perundang-undangan.[6] Pendapat Jimly itu dikuatkan oleh Cornelius M. Kerwin yang menyatakan bahwa peluang masyarakat untuk dapat memprakarsai pembentukan undang-undang merupakan prinsip yang berlaku di semua negara demokratis. Menurut Kerwin:
            Rules can be initiated in a variety ways. Statutory mandate, judicial orders, petitions from the public, and agency determinations of need can all cause a rule-making to begin. A requirement that those about to begin writing rules must secure permission to do so from senior agency officials or simply must inform higher authorities that a rule making is being initiated, serves a number of purpose.[7]           
            Pentingnya partisipasi dapat dilihat dari teori demokrasi partisipatif (participatory democracy). Dalam kaitannya dengan keberadaan peran serta masyarakat, menurut R.B. Gibson, teori ini menyatakan bahwa warga bukanlah semata-mata konsumen kepuasan. Mereka membutuhkan kesempatan dan dorongan untuk pengungkapan dan pengembangan diri. Para penganut teori ini menolak asumsi bahwa warga satu sama lain selalu dalam keadaan konflik kepentingan sebagaimana diyakini penganut teori demokrasi elite. Malah sebaliknya, bahwa hakikat dari kepribadian manusia adalah saling melengkapi dalam kehidupan bersama sehingga manusia mampu menyelaraskan antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama melalui cara-cara yang dapat diterima. Menurut penganut teori partisipatori, hakikat demokrasi adalah untuk menjamin bahwa keputusan-keputusan yang dibuat oleh pemerintah menyertakan warga yang mungkin terkena dampak dari keputusan tersebut. Demokrasi dalam teori ini memberi dorongan untuk berperan serta dalam pembuatan keputusan-keputusan yang mempengaruhi kehidupan warga. Teori ini tidak hanya ingin mewujudkan pemerintahan yang demokratis (democratic governments), melainkan juga masyarakat yang demokratis (democratic societies).[8]
             Teori demokrasi partisipatif kebalikan dari teori demorkasi elite (elite democracy) yang menganggap partisipasi selesai ketika warga memberikan suaranya dalam bilik-bilik suara dalam pemilu dan telah terbentuk pemerintahan dari hasil pemilu tersebut. Masih menurut R.B. Gibson, ruang lingkup partisipasi dalam teori demokrasi elite sebatas keikutsertaan warga dalam pemilu yang bebas dan jujur untuk mengisi jabatan politik di pemerintahan dan di legislatif. Jika warga telah melaksanakan haknya dalam pemilu, untuk selanjutnya warga mempercayakan penyelenggaraan pemerintahan kepada mereka yang terpilih. Tugas pengawasan terhadap pemerintahan dilakukan oleh mereka yang terpilih sebagai anggota legislatif. Adalah tugas anggota-anggota legislatif untuk mengawasi agar pemerintah dalam membuat kebijakan dan keputusan administrasi tidak menyimpang dari kepentingan pemilih. Terbatasnya peran serta menurut pandangan teori demokrasi elite didasarkan pada asumsi bahwa warga cenderung lebih memikirkan diri sendiri guna memenuhi kepuasaan dirinya sehingga sering terjadi perbedaan kepentingan dalam masyarakat yang potensial menimbulkan gangguan sosial. Oleh karena itulah, untuk menghindari konflik dan ketidakstabilan masyarakat, pemerintahlah yang memiliki legitimasi untuk bertindak atas nama masyarakat.[9]
            Menanggapi kritik terhadap peran serta masyarakat oleh para penganut demokrasi elite, Koesnadi Hardjasoemantri menyatakan demokrasi perwakilan bukanlah satu-satunya bentuk demokrasi dan sistem perwakilan tidak menutup bentuk-bentuk demokrasi langsung. Lagipula, menurutnya, yang mengambil keputusan sesungguhnya bukanlah warga masyarakat, sekelompok warga masyarakat, atau organisasi. Mereka hanya berperan serta dalam tahap-tahap pengambilan keputusan. Selain itu, monopoli negara dan lembaga-lembaga negara untuk mengambil keputusan tidaklah dipersoalkan oleh adanya peran serta masyarakat. Peran serta masyarakat hanyalah untuk membantu negara dan lembaga-lembaga guna melaksanakan tugas-tugas dengan cara yang lebih dapat diterima dan berhasil guna.[10]
            Menurut J. M. Otto, dilihat dari teori pembentukan undang-undang, keharusan adanya partisipasi masyarakat merupakan tujuan dari teori “the synoptic policy-phases theory” (teori tahapan kebijakan sinoptik). Menurut teori ini, pembentukan undang-undang sebagai proses yang terorganisasi dan terarah secara baik terhadap suatu pembentukan keputusan yang mengikat, sebagai upaya mencari dan menentukan arahan bagi masyarakat secara keseluruhan. Suatu kebijakan dibentuk oleh lembaga yang akuntabel serta melalui proses yang terbuka dan bertanggung jawab agar tercapai kecepatannya (enforceablity), keseimbangan (adequacy), dan keterlaksanaan (implementability) dari suatu aturan. Dilihat dari pandangan ahli tentang asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, partisipasi masyarakat dalam pembentukan undang-undang merupakan pelaksanaan asas konsensus (het beginsel van consensus), yakni adanya ‘kesepakatan’ rakyat untuk melaksanakan kewajiban dan menanggung akibat yang ditimbulkan oleh peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Dalam bahasa A. Hamid S. Attamimi, hal ini mengingat pembentukan peraturan perundang-undangan haruslah dianggap sebagai langkah awal untuk mencapai tujuan-tujuan yang disepakati bersama oleh pemerintah dan rakyat.[11]                    
Secara legal-formal, partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan diatur dalam Pasal 53 UU 10/2004 yang menyatakan, “Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan undang-undang dan rancangan peraturan daerah.” Dari ketentuan ini dapat diketahui bahwa partisipasi tersebut dapat dilakukan dalam tahap ‘penyiapan’ dan/atau ‘pembahasan’ suatu undang-undang dan peraturan daerah. Tahap-tahap dalam pembuatan peraturan perundang-undangan sendiri menurut UU 10/2004 adalah (1) perencanaan, (2) persiapan, (3) teknik penyusunan, (4) perumusan, (5) pembahasan, (6) pengesahan, (7) pengundangan, dan (8) penyebarluasan. Dari delapan tahap ini, kecuali pengesahan dan pengundangan, semuanya seharusnya terbuka bagi partisipasi publik.  
Sayangnya, Pasal 53 UU 10/2004 menyebut dua tahap saja dalam pembuatan undang-undang yang terbuka bagi pastisipasi publik, yaitu tahap persiapan (penyiapan) dan pembahasan. Selain itu, penjelasan dari pasal tersebut malah mempersempit pengertian partisipasi karena dikatakan bahwa hak masyarakat untuk berpartisipasi tersebut dilaksanakan sesuai peraturan tata tertib DPR dan DPRD. Padahal, pembuatan suatu undang-undang tidak hanya dilakukan oleh DPR, melainkan pula DPD dan terutama pemerintah (Presiden). Bahkan, bisa dikatakan, usul inisiatif pembuatan undang-undang lebih banyak berasal dari pemerintah.[12] Tidak heran bila banyak pakar yang mengkritik keberadaan Pasal 53 tersebut, seperti yang dikatakan Yuliandri ketika mengomentari keberadaan pasal tersebut:
   Akan tetapi, ketentuan dimaksud menjadi kabur, karena tidak ditegaskan secara rinci, mengenai tata cara penyampaian masukan dari masyarakat, dalam rangka penyiapan atau pembahasan suatu Rancangan Undang-Undang. Penjelasan Pasal 53 merumuskan, bahwa hak masyarakat dalam ketentuan ini dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat/Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sehingga tata caranya masih problematik.[13]
Secara teoretis, hak masyarakat untuk memberikan masukan dalam penyiapan dan pembahasan undang-undang di satu sisi harus dimaknai sebagai kewajiban DPR di sisi yang lain. Faktanya ternyata tidak demikian. Dalam UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3),[14] yang antara lain mengatur tentang proses pembentukan undang-undang, hanya ditegaskan bahwa DPR ‘dapat’ melakukan kegiatan untuk mendapat masukan dari masyarakat (Pasal 153 ayat [2]). Artinya, kegiatan penyerapan aspirasi masyarakat tersebut boleh dilaksanakan boleh juga tidak. Padahal, DPR sendiri mengakui bahwa partisipasi publik tersebut berpengaruh pada kualitas undang-undang yang dihasilkan. Misalnya seperti temuan Tim Kajian Peningkatkan Kinerja DPR berikut ini:
Belum optimalnya kinerja DPR RI dalam bidang legislasi, terutama dari segi kualitas undang-undang yang dihasilkan antara lain disebabkan oleh minimnya partisipasi publik dalam penyusunan undang-undang termasuk penyusunan daftar RUU Program Legislasi Nasional.[15]
Selain soal kewajiban yang tidak dicantumkan tersebut, tidak diaturnya soal partispasi masyarakat dalam penyiapan RUU usul inisiatif pemerintah merupakan kelemahan UU 10/2004. Secara teoretis, undang-undang ini telah benar meletakkan bahwa partisipasi dalam pembentukan undang-undang adanya di DPR karena DPR adalah pemegang kekuasaan legislatif. Namun, secara faktual, hal tersebut menjadi kurang tepat karena pemerintahlah yang lebih banyak menyiapkan RUU ketimbang legislatif. Partisipasi masyarakat dalam penyiapan RUU ketika masih digodok pemerintah menjadi sangat penting dengan tujuan-tujuan sebagaimana disebutkan oleh Lothar Gundling. Terlebih, setelah perubahan UUD 1945, peran legislasi pemerintah ternyata jauh lebih besar ketimbang sebelum perubahan UUD 1945. Setelah perubahan UUD 1945, pemerintah memiliki 50 persen kekuasaan untuk menyetujui atau tidak menyetujui suatu rancangan undang-undang yang telah dibahas di DPR.[16]  

C.   Proses Penyusunan RUU dan Titik-titik Partisipasi Publik
               Seperti yang disebutkan terdahulu, proses pembentukan peraturan perundang-undangan (termasuk undang-undang) terdiri atas delapan tahap, yaitu perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan. Dikaitkan dengan topik bahasan dalam laporan ini, yaitu proses penyusunan RUU inisiatif pemerintah, kiranya empat tahap pertama yang penting untuk digarisbawahi karena masih merupakan ranah penyusunan suatu RUU yang dapat dikerjakan pemerintah, sepanjang suatu RUU itu berasal dari inisiatif eksekutif, sekaligus dalam hal pelibatan masyarakat. Tahap pembahasan adalah tahap DPR bersama pemerintah. Dalam tahap ini, DPR-lah yang berperan lebih besar dalam pelibatan partisipasi masyarakat meskipun pemerintah yang ikut membahas RUU pun seharusnya tidak boleh berdiam diri saja. Mereka juga dapat terus menggali pendapat masyarakat selama proses membahas suatu RUU bersama dengan DPR. Adapun dalam tahap pengesahan dan pengundangan bisa dikatakan tidak diperlukan lagi partisipasi masyarakat karena bersifat teknis-administratif.[17] Sementara dalam tahap penyebarluasan masih dibutuhkan partispasi, tetapi tidak lagi dalam ranah penyusunan RUU, melainkan lebih pada sosialisasi undang-undang yang telah dihasilkan. Pihak-pihak atau organisasi yang sejak awal berpartisipasi dalam pembentukan suatu undang-undang dapat dijadikan narasumber dalam sosialisasi undang-undang tersebut.  
Penyusunan RUU di ranah eksekutif dilakukan oleh pemrakarsa berdasarkan program legislasi nasional (prolegnas) yang telah ditetapkan oleh DPR. Namun, dalam keadaan tertentu, pemrakarsa dapat pula menyusun RUU di luar prolegnas setelah terlebih dahulu mengajukan permohonan izin prakarsa kepada presiden dengan disertai penjelasan sebagai berikut: (a) urgensi dan tujuan penyusunan; (b) sasaran yang ingin diwujudkan; (c) pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur; dan (d) jangkauan serta arah pengaturan.[18]
Berikut tahap-tahap penyusunan RUU yang didasarkan pada prolegnas sebagaimana diatur dalam Perpres Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden (selanjutnya “Perpres 68/2005”):[19]

Pembentukan Panitia Antardepartemen
  • Pemrakarsa[20] membentuk panitia antardepartemen yang keanggotaannya terdiri dari unsur departemen dan lembaga pemerintah nondepartemen (LPND) yang terkait dengan substansi RUU; Panitia antardepartemen dipimpin oleh seorang ketua yang ditunjuk oleh pemrakarsa.
  • Dalam rangka pembentukan panitia antardepartemen, pemrakarsa mengajukan surat permintaan keanggotaan panitia kepada Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) dan menteri/pimpinan lembaga terkait; Surat permintaan disertai dengan konsepsi, pokok-pokok materi, dan hal-hal lain yang dapat memberikan gambaran mengenai materi yang akan diatur dalam RUU.
  • Menkumham dan menteri/pimpinan lembaga terkait menugaskan pejabat yang berwenang mengambil keputusan, ahli hukum, dan/atau perancang peraturan perundang-undangan yang secara teknis menguasai permasalahan yang berkaitan dengan materi RUU; Penyampaian nama pejabat, ahli hukum, dan/atau perancang peraturan perundang-undangan dilakukan paling lama tujuh hari kerja setelah tanggal diterimanya surat permintaan oleh Menkumham dan menteri/pimpinan lembaga terkait.
  • Pemrakarsa menetapkan surat keputusan pembentukan panitia antardepartemen paling lambat 30 hari kerja sejak tanggal surat permintaan keanggotaan; Kepala biro hukum atau kepala satuan kerja yang menyelenggarakan fungsi di bidang peraturan perundang-undangan pada lembaga pemrakarsa secara fungsional bertindak sebagai sekretaris panitia antardepartemen.
  • Panitia antardepartemen menitikberatkan pembahasan pada permasalahan yang bersifat prinsipil mengenai objek yang akan diatur, jangkauan, dan arah pengaturan.

Penyusunan dan Pembahasan RUU
  • Kegiatan perancangan yang meliputi penyiapan, pengolahan, dan perumusan RUU dilaksanakan oleh biro hukum atau satuan kerja yang menyelenggarakan fungsi di bidang peraturan perundang-undangan pada lembaga pemrakarsa.
  • Hasil perancangan selanjutnya disampaikan kepada panitia antardepartemen untuk diteliti kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip yang telah disepakati.
  • Pejabat, ahli hukum, dan/atau perancang peraturan perundang-undangan wajib menyampaikan laporan kepada dan/atau meminta arahan dari menteri/pimpinan lembaga terkait mengenai perkembangan penyusunan RUU dan/atau permasalahan yang dihadapi.
  • Dalam pembahasan RUU di tingkat panitia antardepartemen, pemrakarsa dapat pula mengundang para ahli dari lingkungan perguruan tinggi atau organisasi di bidang sosial, politik, profesi, dan kemasyarakatan lainnya sesuai dengan kebutuhan dalam penyusunan RUU.
  • Ketua panitia antardepartemen melaporkan perkembangan penyusunan RUU dan/atau permasalahan yang dihadapi kepada pemrakarsa untuk memperoleh keputusan atau arahan.
  • Ketua panitia antardepartemen menyampaikan perumusan akhir RUU kepada pemrakarsa disertai dengan penjelasan secukupnya.
Penyebarluasan RUU kepada Masyarakat
  • Dalam rangka penyempurnaan RUU, pemrakarsa dapat menyebarluaskan RUU kepada masyarakat; Hasil penyebarluasan dijadikan bahan oleh panitia antardepartemen untuk penyempurnaan RUU.
Penyampaian RUU kepada Menkumham dan Menteri/Pimpinan Lembaga Terkait
  • Pemrakarsa menyampaikan RUU kepada Menkumham dan menteri/pimpinan lembaga terkait untuk memperoleh pertimbangan dan paraf persetujuan dalam jangka waktu paling lama 14 hari kerja sejak RUU diterima; Pertimbangan dan paraf persetujuan dari Menkumham diutamakan pada harmonisasi konsepsi dan teknik perancangan perundang-undangan.
  • Dalam hal pemrakarsa melihat adanya perbedaan di antara pertimbangan, pemrakarsa bersama dengan Menkumham menyelesaikan perbedaan tersebut dengan menteri/pimpinan lembaga terkait yang bersangkutan.
  • Apabila upaya penyelesaian tidak memberikan hasil, Menkumham melaporkan secara tertulis permasalahan tersebut kepada presiden untuk memperoleh keputusan.
  • Perumusan ulang RUU dilakukan oleh pemrakarsa bersama-sama dengan Menkumham.
Pengajuan RUU kepada Presiden
  • Apabila RUU tersebut sudah tidak memiliki permasalahan lagi baik dari segi substansi maupun dari segi teknik perancangan perundang-undangan, pemrakarsa mengajukan RUU kepada Presiden guna penyampaiannya kepada DPR dengan tembusan kepada Menkumham.
  • Apabila Presiden berpendapat RUU masih mengandung permasalahan, Presiden menugaskan Menkumham dan pemrakarsa untuk mengkoordinasikan kembali penyempurnaan RUU tersebut.
  • RUU yang telah disempurnakan disampaikan oleh pemrakarsa kepada Presiden dalam jangka waktu paling lama 30 hari kerja sejak diterimanya penugasan dengan tembusan kepada Menkumham.
Selain RUU yang secara jelas tercantum dalam prolegnas, penyusunan RUU dapat pula dilakukan di luar prolegnas sebagaimana telah disebutkan pada bagian terdahulu. Berikut ini adalah tahap-tahap penyusunan RUU di luar prolegnas:[21]
  • Dalam rangka penyusunan konsepsi RUU di luar prolegnas, pemrakarsa wajib mengkonsultasikan konsepsi tersebut kepada Menkumham; Konsultasi dilakukan dalam rangka pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU.
  • Untuk kelancaran pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU, Menkumham mengkoordinasikan pembahasan konsepsi tersebut dengan pejabat yang berwenang mengambil keputusan, ahli hukum, dan/atau perancang peraturan perundang-undangan dari lembaga pemrakarsa dan lembaga terkait lainnya; Apabila dipandang perlu, koordinasi dapat pula melibatkan perguruan tinggi dan atau organisasi di bidang sosial, politik, profesi, dan kemasyarakatan lainnya;
  • Dalam hal koordinasi tidak menghasilkan keharmonisan, kebulatan, dan kemantapan konsepsi RUU, Menkumham dan pemrakarsa melaporkannya kepada Presiden disertai dengan penjelasan mengenai perbedaan pendapat atau perbedaan pandangan yang ada untuk memperoleh keputusan atau arahan; Keputusan dan arahan sekaligus merupakan persetujuan izin prakarsa penyusunan RUU.
  • Dalam hal koordinasi telah menghasilkan keharmonisan, kebulatan, dan kemantapan konsepsi, pemrakarsa menyampaikan konsepsi RUU kepada Presiden dengan tembusan kepada Menkumham guna mendapat persetujuan.
  • Berdasarkan persetujuan Presiden, pemrakarsa membentuk panitia antardepartemen.
  • Tata cara pembentukan panitia antardepartemen dan penyusunan RUU selanjutnya dilakukan sesuai dengan ketentuan penyusunan RUU yang didasarkan pada prolegnas.
Dikaitkan dengan partisipasi masyarakat, ketentuan Pasal 13 Perpres 68/2005, bahwa dalam rangka penyempurnaan RUU pemrakarsa menyebarluaskan RUU kepada masyarakat, memberikan peluang bagi partisipasi publik. Demikian pula ketentuan dalam Pasal 22 ayat (2) yang menyebutkan soal pelibatan perguruan tinggi dan organisasi di bidang sosial, politik, profesi, dan kemasyarakatan lainnya dalam hal pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU di luar prolegnas. Dalam praktek selama ini, sebagaimana terungkap dalam diskusi kelompok terpadu pada tanggal 8 Maret 2010 di Departemen Hukum dan HAM, partispasi masyarakat juga dimungkinkan bagi RUU yang sudah tercantum dalam prolegnas. Sayangnya, kalimat dalam Pasal 22 ayat (2) tersebut menggunakan kata ‘dapat’ yang artinya bisa dilakukan bisa tidak pelibatan masyarakat tersebut. 
Tabel di bawah ini memperlihatkan titik-titik partisipasi publik yang telah diatur dalam sejumlah peraturan perundang-undangan, baik di ranah eksekutif maupun ranah legislatif.
Tabel 1
Titik-Titik Partisipasi Publik dalam Peraturan Perundang-Undangan
NO
PERATURAN
PASAL
ISI
01
UU 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Pasal 53
Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan undang-undang dan rancangan peraturan daerah

02
UU 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
Pasal 153 ayat (1), (2), dan (3)
(1) Dalam penyiapan dan pembahasan rancangan undang-undang, termasuk pembahasan rancangan undangundang tentang APBN, masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis kepada DPR melalui pimpinan DPR dan/atau alat kelengkapan DPR lainnya. (2) Anggota atau alat kelengkapan DPR yang menyiapkan atau membahas rancangan undang-undang dapat melakukan kegiatan untuk mendapat masukan dari masyarakat. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerimaan masukan dan penyerapan aspirasi dari masyarakat dalam penyiapan dan pembahasan rancangan undang-undang diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib.

02
Perpres 68/2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden
Pasal 10 ayat (5)
Dalam pembahasan RUU di tingkat Panitia Antardepartemen, Pemrakarsa dapat pula mengundang para ahli dari lingkungan perguruan tinggi atau organisasi di bidang sosial, politik, profesi, dan kemasyarakatan lainnya sesuai dengan kebutuhan dalam penyusunan RUU

03
Perpres 68/2005
Pasal 13
(1) Dalam rangka penyempurnaan Rancangan Undang-Undang.., Pemrakarsa dapat menyebarluaskan RUU kepada masyarakat; (2) Hasil penyebarluasan dijadikan bahan oleh Panitia Antardepartemen untuk penyempurnaan RUU.

04
Perpres 68/2005
Pasal 22
(1) Untuk kelancaran pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU, Menkum HAM mengkoordinasikan pembahasan konsepsi tersebut dengan pejabat yang berwenang mengambil keputusan, ahli hukum, dan/atau perancang peraturan perundang-undangan dari lembaga Pemrakarsa dan lembaga terkait lainnya; (2) Apabila dipandang perlu, koordinasi dapat pula melibatkan perguruan tinggi dan atau organisasi di bidang sosial, politik, profesi, dan kemasyarakatan lainnya.

05
Peraturan DPR 1/2009 tentang Tata Tertib DPR (Tatib DPR 2009)
Pasal 204
(1) Badan Legislasi dalam menyusun Prolegnas di lingkungan DPR dilakukan dengan mempertimbangkan usulan dari fraksi, komisi, DPD, dan/atau masyarakat; (6) Usulan dari masyarakat disampaikan kepada pimpinan Badan Legislasi.

06
Tatib DPR 2009
Pasal 105
Dalam penyusunan Prolegnas, Badan Legislasi dapat mengundang pimpinan fraksi, pimpinan komisi, pimpinan alat kelengkapan DPD yang khusus menangani bidang legislasi, dan/atau masyarakat

07
Tatib DPR 2009
Pasal 106 ayat (8)
Dalam pembahasan Prolegnas, penyusunan daftar RUU didasarkan atas h. mengakomodasi aspirasi masyarakat.

08
Tatib DPR 2009
Pasal 107
Prolegnas disampaikan kepada Presiden, DPD, dan masyarakat (oleh Baleg dan Menkum HAM) melalui media cetak, media elektronik, dan/atau media lainnya.

09
Tatib DPR 2009
Pasal 114
Dalam penyusunan RUU, anggota, komisi, gabungan komisi, atau Badan Legislasi dapat meminta masukan dari masyarakat sebagai bahan bagi panja untuk menyempurnakan konsepsi RUU.

10
Tatib DPR 2009
Pasal 126
Dalam hal diperlukan masukan untuk penyempurnaan RUU, komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, atau pansus dapat mengadakan RDPU.





D.   Identifikasi Persoalan Partisipasi Publik
Ketentuan Pasal 53 UU 10/2004 yang menjadi landasan utama partisipasi publik dalam pembuatan undang-undang sesungguhnya hanya menyebut partisipasi publik di ranah legislatif. Hal ini terbukti dari penjelasan Pasal 53 yang menyebutkan bahwa ”hak masyarakat dalam ketentuan ini dilaksanakan seuai dengan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat/dewan perwakilan rakyat daerah.” Tidak heran bila peraturan yang mengatur tentang mekanisme penyusunan RUU di wilayah eksekutif seperti Perpres 68/2005 tidak menggunakan bahasa yang imperatif. Bahasa yang digunakan adalah ”dapat” atau ”bila dipandang perlu”. Artinya, seandainya partisipasi publik tidak dibuka dalam proses penyusunan suatu RUU, hal tersebut tidak menyalahi peraturan yang ada. Kata ”dapat” dan ”apabila dipandang perlu” menyediakan pilihan untuk membuka dan tidak membuka ruang partisipasi publik dalam penyusunan RUU di wilayah eksekutif. Secara teoretis, hak masyarakat di satu sisi sebagaimana diatur dalam Pasal 53 UU 10/2004 seharusnya menjadi kewajiban DPR atau DPRD di sisi yang lain.
Tidak itu saja, di wilayah legislatif pun bahasa imperatif tidak digunakan. Beberapa pasal dalam Peraturan DPR Nomor 1/2009 tentang Peraturan Tata Tertib DPR juga menggunakan kata ”dapat”. Padahal, DPR sendiri menghadapi persoalan partisipasi publik yang menurut kajian DPR sendiri disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut. Pertama, Sekretariat Jenderal DPR belum mempunyai kemampuan mengelola partisipasi publik. Contoh, jadwal yang kaku dan waktu yang tidak memadai bagi publik untuk memberikan masukan terhadap pembahasan RUU, serta pembatasan untuk menerima masukan hanya dalam format tertentu. Demikian pula belum tersosialisasinya dengan baik pembahasan suatu RUU menyebabkan tidak semua pihak yang berkepentingan mengetahui adanya pembahasan suatu RUU. Aspek lain adalah keterbatasan sumber daya Ketika sebuah lembaga tidak mempunyai dana yang memadai untuk mendesiminasikan informasi, mengadakan rapat dengar pendapat umum (RDPU), mengirim staf untuk menemui warga dan mendengar pendapat mereka, kesempatan menyediakan partisipasi menjadi sangat problematik. Kedua, ketertutupan proses pengambilan kebijakan dan sempitnya media yang tersedia bagi dialog dan debat atas suatu proses pengambilan kebijakan.[22] 
Kendala partisipasi publik juga terlihat dari lemahnya pemahaman dan pendalaman aparat negara terhadap UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP),[23] terutama bila dikaitkan dengan tersedianya draf RUU yang sedang disusun. Sering draf RUU yang sedang disusun oleh pemrakarsa tidak dapat diakses publik. Padahal, UU KIP jelas menyebut bahwa informasi seperti itulah bukanlah informasi yang tertutup atau dikecualikan bagi publik.[24] Malah sebaliknya, UU KIP memberikan hak kepada publik untuk bisa mendapatkan informasi publik dan sebaliknya membebankan kewajiban kepada badan publik untuk menyediakannya. Pasal 7 ayat (1) UU KIP, misalnya, menyatakan bahwa ”Badan Publik wajib menyediakan, memberikan dan/atau menerbitkan Informasi Publik yang berada di bawah kewenangannya kepada Pemohon Informasi Publik, selain informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan.” Mengenai hak, misalnya disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) yang menyatakan, ”Setiap orang berhak memperoleh Informasi Publik sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.”
Selain soal pemahaman dan pendalaman UU KIP, tidak jelasnya tugas dan tanggung jawab institusi pemerintah yang terlibat dalam proses pembuatan undang-undang juga menjadi soal, yang mengakibatkan publik kesulitan untuk mendapatkan RUU yang sedang disusun atau terlibat dalam kegiatan penjaringan aspirasi publik. Kewajiban tersebut seharusnya dibebankan kepada pemrakarsa, tetapi tidak ada satu pun ketentuan peraturan perundang-undangan yang menyebutkan hal tersebut secara eksplisit sehingga bila pemrakarsa menghindar dari kewajiban untuk menyediakan draf RUU yang sedang disusun tidak terdapat mekanisme yang bisa mempersoalkannya. UU KIP sebenarnya menyediakan mekanisme mengajukan gugatan ke pengadilan apabila dalam memperoleh informasi publik mendapat hambatan sebagai diatur dalam Pasal 4 ayat (4). Namun, budaya hukum Indonesia belum sampai taraf itu di mana warga negara berinisiatif untuk  menggugat haknya ke pengadilan karena negara melalaikan kewajibannya.
Tidak jelasnya tugas dan tanggung jawab ini diperparah dengan belum tersedianya website perundang-undangan yang terpadu, yang menyediakan tidak hanya segala jenis peraturan, mulai dari UUD 1945 hingga peraturan daerah, tetapi juga rancangan peraturan yang sedang disusun atau dibahas. Jika ada website seperti itu, masyarakat yang memiliki akses terhadap internet tidak akan kesulitan mendapatkan draf RUU yang sedang disusun. Website yang ada saat ini, seperti www.djpp.depkumham.go.id, masih bersifat sporadis, belum mencakup keseluruhan peraturan perundang-undangan yang ada, termasuk rancangan-rancangan peraturan. Itu pun belum tersosialisasi secara baik sehingga masyarakat belum mengetahuinya.
Masalah lain yang juga perlu digarisbawahi adalah budaya birokrasi yang sering ”takut” dan ”tidak melayani” sehingga masyarakat kesulitan mendapatkan draf RUU yang sedang disusun. Masih kuat paradigma di birokrasi yang menganggap bahwa draf RUU yang sedang disusun adalah rahasia negara yang tidak boleh dibocorkan ke publik sebelum penyusunannya final dan siap diajukan ke DPR.[25] Padahal, kalau RUU-nya sudah final dan siap diajukan ke DPR, tidak ada gunanya lagi partisipasi publik di ranah eksekutif karena proses penyusunan sudah selesai. Justru ketika RUU masih dalam taraf penyusunan masyarakat harus lebih banyak dilibatkan untuk memberikan masukan-masukan. Seperti dikatakan Lothar Gundling, partisipasi itu penting justru untuk meningkatkan kesiapan masyarakat sendiri dalam menerima suatu keputusan (increasing the readiness of the public to accept decisions).[26] Bila masyarakat sudah terlibat sejak awal, pembahasan di DPR untuk menjadi undang-undang tentu akan lebih mudah. Paling tidak, dukungan publik terhadap draf yang diajukan pemerintah akan lebih besar. Bila DPR mengacak-acak RUU yang diajukan tersebut, tentu masyarakat akan melakukan penolakan.
Budaya ”takut” dan ”tidak melayani” tersebut semakin diperparah dengan ”budaya antikritik” yang kerap menghinggapi birokrasi pemerintahan. Kritik tidak dianggap sebagai sebuah bentuk partisipasi atas suatu penyusunan RUU, melainkan sebagai suatu penolakan. Masyarakat atau kelompok masyarakat yang mengkritik draf yang disusun pemerintah sering tidak dilibatkan dalam proses partisipasi publik. Yang dilibatkan hanyalah mereka yang setuju dengan draf yang sudah dibuat. Hingga titik ini, partisipasi sesungguhnya bukanlah sarana untuk mencari masukan dari masyarakat atau mengagregasi beragam kepentingan dari masyarakat terhadap penyusunan RUU, melainkan sekadar alat legitimasi atas draf yang telah dihasilkan pemerintah. Tidak heran bila RUU yang kemudian diajukan ke DPR biasanya sudah ditolak lebih dulu oleh publik sebelum mulai pembahasan di DPR.
Kendala partisipasi yang juga perlu dicatat adalah terlalu banyaknya RUU yang harus dibuat pemerintah, padahal tidak setiap soal harus diatur dalam undang-undang. Untuk tahun 2010 saja, misalnya, sudah ada 70 RUU yang menjadi prioritas pembahasan, sebagian besar di antaranya tentu harus disiapkan pemerintah. Mengelola partisipasi atas pekerjaan yang terlalu banyak tentu tidak mudah. Selain masalah terbatasnya sumber daya manusia yang mengerjakan, terbatasnya anggaran adalah masalah lain yang tidak boleh dilupakan begitu saja. Padahal, seperti yang dicatat Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), kemampuan DPR sendiri dalam menyelesaikan RUU hanya 38,6 undang-undang per tahun bila berkaca dari capaian kerja legislasi periode 2004-2009. Bahkan, pada tahun 2005, tahun awal masa jabatan periode lalu, dari 55 RUU yang diprioritaskan, hanya 14 undang-undang yang dihasilkan.
Tabel di bawah ini adalah beberapa masalah partisipasi publik dalam penyusunan RUU inisiatif pemerintah yang dapat diidentifikasi.
Tabel 2
Identifikasi Masalah-Masalah Partisipasi Publik

  IDENTIFIKASI KENDALA PARTISIPASI PUBLIK 
UU 10/2004 hanya menyebut partisipasi publik di ranah legislative
Hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembentukan undang-undang tidak disertai dengan kewajiban DPR/pemerintah, baik dalam undang-undang maupun peraturan di bawah undang-undang
DPR dan pemerintah tidak menggunakan kata yang ‘imperatif’ dalam hal partisipasi publik
Pemahaman dan pelaksanaan UU KIP yang masih terbatas
Tidak jelasnya tugas dan tanggung jawab institusi pemerintah yang terlibat dalam proses pembuatan undang-undang (misalnya soal tanggung jawab menyediakan RUU yang diperlukan)
Belum tersedianya website perundang-undangan yang terpadu (one stop service)
Belum tersosialisasinya secara baik media yang ada (terutama website)
Budaya birokrasi yang ‘takut’ dan ‘tidak melayani’ yang menyebabkan masyarakat sulit mendapatkan RUU yang sedang dalam taraf penyusunan
Kompetisi’ di antara institusi pemerintah, bahkan di antara pejabat eselon satu
Budaya antikritik: kritik tidak dianggap sebagai partisipasi, tetapi pernyataan ketidaksetujuan. Sering mereka yang mengkritik tidak diundang
Terlalu banyaknya undang-undang yang tercantum dalam prolegnas (prioritas 2010 sebanyak 70 RUU), padahal tidak semua hal harus diatur dengan undang-undang



E.   Alternatif Solusi
Berdasarkan uraian mengenai identifikasi persoalan partisipasi publik kiranya yang pertama-tama perlu dilakukan adalah memasukkan ketentuan mengenai kewajiban untuk menjaring partisipasi publik dalam semua level penyusunan undang-undang, baik yang berasal dari inisiatif DPR, DPD, maupun pemerintah. Hak yang telah diberikan kepada masyarakat melalui perumusan Pasal 53 UU Nomor 10/2004 harus disertai dengan penyebutan yang jelas mengenai kewajiban DPR, DPD, dan terutama pemerintah dalam menyediakan sarana dan prasarana bagi terbukanya partisipasi masyarakat. Untuk itu, rencana revisi UU Nomor 10/2004 yang telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2010-2014[28] harus bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk memasukkan ketentuan tentang kewajiban partisipasi tersebut.
Sebelum revisi terwujud, pemerintah dapat pula mengadakan revisi Perpres Nomor 68/2005 atau bahkan membuat perpres baru yang mengatur tentang kewajiban unit-unit pemerintahan, baik departemen (kementerian) maupun lembaga pemerintah nondepartemen (LPND), agar menyediakan dan membuka ruang partisipasi publik seluas-luasnya, antara lain dengan mengadakan sebanyak mungkin kegiatan yang dimaksudkan untuk menjaring aspirasi publik, termasuk memanfaatkan media yang ada (misalnya internet) agar publik dapat mengikuti pembahasan suatu rancangan undang-undang di tingkat pemerintah, sekaligus memberikan masukan atas rancangan yang sedang dibahas tersebut.
Oleh karenanya, kalimat atau kata yang digunakan haruslah bersifat imperatif, tidak seharusnya menggunakan kata-kata ”dapat” atau ”bila dipandang perlu” sebagaimana digunakan dalam peraturan-peraturan yang telah dibahas dalam bagian terdahulu. Seandainya kewajiban untuk untuk partisipasi publik disebutkan secara tegas dalam undang-undang, setiap undang-undang yang tidak menyediakan ruang partisipasi publik yang memadai dalam proses penyusunannya dapat diperkarakan di Mahkamah Konstitusi (MK), yaitu melalui pengujian formil. Undang-undang yang tidak menyediakan ruang partisipasi yang memadai dapat dibatalkan oleh MK. Pasal 22A Perubahan Kedua UUD 1945 menyatakan, ”Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang.” Undang-undang organik dari ketentuan ini adalah UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Seandainya undang-undang ini memuat mengenai kewajiban tentang partisipasi publik, segala undang-undang yang disahkan tanpa partisipasi publik yang memadai dapat dinilai bertentangan dengan Pasal 22A Perubahan Kedua UUD 1945.
Selain menyelipkan tentang kewajiban partisipasi publik dalam undang-undang dan peraturan di bawah undang-undang, hal lain yang bisa dilakukan adalah menyediakan semacam buku panduan tentang partisipasi publik dalam penyusunan rancangan undang-undangan, terutama yang menjelaskan secara detail mengenai prosedur yang harus ditempuh dalam partisipasi publik, termasuk pembagian tugas dan kewenangan di antara institusi pemerintahan. Tidak jelasnya pembagian tugas dan kewenangan di antara institusi pemerintahan telah menyebabkan ruang partisipasi sering tersumbat. Misalnya saja mengenai penyediaan RUU. Sering masyarakat, terutama pemangku kepentingan, kesulitan mendapatkan RUU yang sedang disusun. Tidak ada satu pun institusi pemerintahan yang merasa bertanggung jawab untuk menyiadakan RUU yang diperlukan masyarakat dalam rangka mengawal atau berpartisipasi dalam penyusunannya.
Pada titik ini pemahaman atau pendalaman UU Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) menjadi penting. Undang-undang itu sesungguhnya tidak mengecualikan RUU, baik yang sudah final maupun dalam tahap penyusunan, sebagai informasi yang dapat diklasifikasinya sebagai rahasia negara sehingga tidak boleh disebarluaskan. Malah sebaliknya, UU KIP membebani kewajiban kepada institusi pemerintah untuk menyediakan informasi yang dibutuhkan, dalam hal ini termasuk RUU. Oleh karena itu, sebagai alternatif solusi untuk meningkatkan partisipasi publik, pemahaman dan pendalaman terhadap UU KIP tersebut penting dilakukan.
Salah satu kewajiban untuk membuka informasi publik tersebut dapat dilakukan dengan membangun website perundang-undangan yang terintegrasi. Sepanjang yang dapat diikuti, tidak ada satu pun website perundang-undangan di Indonesia yang memuat secara lengkap peraturan perundang-undangan yang ada, mulai dari UUD 1945 hingga peraturan daerah, apalagi yang memuat rancangan-rancangan peraturan baik yang sudah final maupun yang masih dalam tahap penyusunan. Oleh karena itu, sebagai bagian dari solusi partisipasi publik, pembangunan website perundang-undangan yang terintegrasi adalah suatu kondisi yang tak terelakkan (conditio sine qua non). Website itu tentu tidak hanya menyediakan peraturan yang sudah disahkan, melain harus pula menyediakan draf RUU yang sedang disusun. Apa yang telah dilakukan Direktorat Jenderal Perancangan Peraturan Depkumham dengan website www.djpp.depkumham.go.id seharus bisa lebih dkembangkan. 
            Sebagai upaya untuk membangun website perundang-undangan yang lengkap dan terpadu tersebut, harus dibangun oline system antara kementerian yang mengurusi bidang perundang-undangan dengan biro-biro hukum di kementerian lain dan lembaga pemerintah nondepartemen (LPND). Harus adalah kewajiban yang jelas bagi biro-biro hukum di kemeterian lain dan LPND untuk menyetorkan peraturan yang mereka buat, termasuk draf peraturan yang sedang disusun. Secara teoretis, dengan kemampuan internet yang ada saat ini, tidak susah untuk membangun oline system tersebut karena pada umumnya kementerian dan LPND telah memiliki website. Persoalan terbesar kementerian dan LPND saat ini adalah umumnya website yang dipunyai tidak di-up date secara baik.
            Di masa depan, memang harus ada sejumlah perombakan di institusi pemerintahan agar partisipasi publik dalam penyusunan RUU bisa terwadahi secara lebih baik. Yang paling pokok adalah pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas dalam mengelola partisipasi publik, yang tentu saja harus dikaitkan dengan tahap-tahap penyusunan RUU. Dalam tahap awal, tanggung jawab partisipasi publik harus berada pada pemrakarsa, mulai dari mengkreasikan forum-forum partisipasi publik hingga menyediakan informasi yang harus disediakan, dalam hal ini draf RUU yang sedang disusun. Depkuham akan memainkan peranan yang besar ketika proses penyusunan RUU sudah masuk fase harmonisasi. Semua fase penyusunan sedapat mungkin terbuka bagi ruang partisipasi publik, mulai dari penyusunan naskah akademik hingga RUU siap diajukan ke DPR.  
            Tabel di bawah berisi alternatif solusi yang dapat diambil terhadap kendala-kendala partisipasi publik dalam penyusunan RUU inisiatif eksekutif.
Tabel 3
Alternatif Solusi terhadap Masalah-Masalah Partisipasi Publik

ALTERNATIF SOLUSI KENDALA PARTISIPASI PUBLIK
Memasukkan ketentuan tentang kewajiban legislatif dan eksekutif dalam hal partisipasi publik
Menetapkan perpres yang berisi kewajiban dan petunjuk teknis bagi institusi pemerintah bagi partisipasi masyarakat dalam penyusunan RUU inisiatif pemerintah
Pemahaman dan pendalaman UU KIP kepada institusi-institusi pemerintah
Membangun website perundang-undangan tersendiri, yang menampung seluruh peraturan, rancangan peraturan, termasuk rancangan peraturan yang belum final
Membangun online system kementerian perundang-undangan dengan biro-biro hukum di kementerian lain dan LPND
Pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas di institusi pemerintahan menyangkut kewajiban melibatkan partisipasi publik dalam penyusunan RUU



F.    Peran Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia
Sebagai kementerian yang tugas dan kewenangannya di bidang-bidang perundang-undangan, Depkumham harus memainkan peranan yang siginifikan untuk mendorong terbukanya ruang partisipasi publik dalam penyusunan RUU di ranah eksekutif. Dari elaborasi terdahulu, peran yang bisa dimainkan antara lain:
Yang pertama-tama yang harus dilakukan adalah menjaga konsistensi akan keterlibatan publik dalam tahap harmonisasi. Adalah sangat baik dan berguna bila publik selalu dilibatkan dalam tahap harmonisasi suatu RUU. Meskipun bahasa yang digunakan dalam Perpres 68/2005 tidak bersifat imperatif, Depkumham sebaiknya mewajibkan fase harmonisasi suatu RUU dengan melibatkan publik. Depkumham pada titik ini harus dapat menjadi contoh bagi kementerian atau LPND lain dalam hal partisipasi publik.
Tidak tersedianya website yang menyediakan RUU yang sedang disusun oleh pemrakarsa seharusnya menjadi perhatian bagi Depkumham. Depkumham harus dapat menjadi penyedia setiap RUU yang sedang disusun oleh pemrakarsa. Untuk itu Depkumham harus mempeloporsi jaringan online system dengan divisi atau biro-biro hukum seluruh kementerian dan LPND. Saat ini jaringan online system itu belum tersedia sehingga tugas menyediakan seluruh RUU yang sedang disusun jadi tidak mudah. Terlebih tidak setiap kementerian dan LPND merasa penting untuk menyediakan RUU yang sedang disusun tersebut kepada publik.
Hal lain yang perlu dilakukan oleh Depkumham adalah membangun database stakeholders yang terkait dengan isu-isu tertentu. Selama ini daftar organisasi yang bergerak di ranah tertentu terdapat di Depdagri sehingga Depkumham seharusnya tidak perlu susah membangun database sendiri. Database diperlukan agar Depkumham tidak perlu repot-repot dalam hal pelibatan publik terhadap RUU yang membahas isu tertentu. Misalnya dalam isu pemilu, selama ini Centre for Electoral Reform (Cetro) sangat concern di bidang ini. Demikian pula ketika isu korupsi yang dibahas, organisasi seperti Indonesia Corruption Watch (ICW) tidak bisa ditinggalkan. Stakeholders lain yang perlu diperhitungkan adalah perguruan-perguruan tinggi, terutama yang memiliki pusat kajian tertentu.  
Terakhir, untuk kerja-kerja atau tanggung jawab Depkumham terkait dengan partisipasi masyarakat dalam penyusunan RUU, kanwil-kanwil yang ada harus dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin. Kanwil-kanwil yang ada bisa diberikan tanggung jawab untuk membangun kemitraan dengan stakeholders di daerah seperti LSM dan perguruan tinggi. Kanwil-kanwil di daerah juga dapat diberikan tanggung jawab untuk mengadakan kegiatan-kegiatan menjaring partisipasi publik dalam penyusunan RUU.
Tabel di bawah ini berisi tentang peranan yang mungkin dapat dilakukan oleh Depkumham dalam mebuka dan meningkatkan partisipasi  publik dalam penyusunan RUU inisiatif pemerintah.
Tabel 4
Peranan Depkumham dalam Partisipasi Publik

PERANAN DEPKUMHAM
Membuat buku panduan partisipasi publik dalam penyusunan RUU inisiatif pemerintah
Konsistensi pelibatan publik dalam proses penyusunan RUU yang ditangani, terutama dalam hal harmonisasi
Menjadi penyedia peraturan dan rancangan peraturan yang utama
Mempelopori jaringan online system dengan biro-biro hukum di kementerian dan LPND
Mengoptimalkan kanwil yang ada, terutama divisi pelayanan hukum
Membangun databse dan jaringan kerja, terutama dengan stakeholders di bidang perundang-undangan



G.   Penutup
Semua hal yang disebutkan terdahulu akan bisa berjalan bila ada political will dari semua institusi di ranah eksekutif, termasuk Depkumham. Tanpa political will, tidak mungkin semua yang direkomendasikan dapat dijalankan. Masalahnya, selama ini political will itulah yang sering tidak terlihat, bahkan tidak ada, sehingga hal yang kecil pun, seperti menyediakan RUU yang sedang dibahas, menjadi perkara yang tidak mudah dilakukan. Ketiadaan political will ini makin diperparah dengan mentalitas birokrasi kita yang jauh dari keinginan untuk melayani publik. Mereka lebih merasa sebagai pegawai pemerintah (government employee) ketimbang sebagai pelayan publik (public servant).  Perubahan mentalitas dari ”pegawai pemerintah” menjadi ”pelayan publik” ini akan turut memberikan sumbangn berarti bagi terbukanya partisipasi publik dalam penyusunan suatu RUU di masa depan.*** 
Lampiran
Tabel 5
Tahap-Tahap Pembuatan Undang-Undang dan Partisipasi Publik yang Mungkin Dapat Dilakukan
No
Tahap Pembuatan RUU
Partisipasi Publik
Kegiatan
Keterangan
Pelaksana
1
Gagasan tentang perlunya UU untuk masalah tertentu
Ya
Konsultasi publik
Selain kebutuhan pemrakarsa, hendaknya masyarakat pun ditanya apakah suatu UU diperlukan untuk mengatur masalah tertentu
Pemrakarsa
2
Penyusunan naskah akademik (NA)
Ya
- FGD
- seminar
- semiloka
Pelibatan perguruan tinggi dan lembaga-lembaga yang memiliki spesialisasi dalam bidang tertentu sangat diperlukan untuk pembuatan NA
BHPN dan Pemrakarsa
3
Masuknya RUU ke dalam Prolegnas
Ya
-      konsultasi publik
-      penyebaran informasi draf prolegnas

Publik sebaiknya tetap dilibatkan untuk memastikan suatu RUU bisa masuk dalam prolegnas
Depkumham
4
Penyusunan dan pembahasan draf RUU
Ya
-      konsultasi publik
-      FGD
-      semiloka
-      penyebaran draf RUU yg sedang disusun
Ini adalah tahap penting sehingga pelibatan masyarakat harus lebih luas lagi
Pemrakarsa (tim antardep)
5
Harmonisasi, pemantapan, dan pembulatan konsepsi RUU
Ya
-      konsultasi publik
-      FGD
-      penyebaran draf RUU
Publik yang dilibatkan terutama yang berasal dari unsur PT dan lembaga yang spesialisasinya terkait materi RUU
Depkumham
6
Pembahasan RUU di DPR
Ya
-      seminar
-      FGD
Meski RUU sudah masuk tahapan pembahasan oleh DPR, tidak ada salahnya pemerintah tetap meminta masukan publik sebagai bahan masukan dalam pembahasan RUU tersebut bersama DPR
Pemrakarsa, Depkumham
(Yg mewakili pemerintah dalam pembahasan RUU dimaksud)
7
Persetujuan RUU menjadi UU
Ya/Tidak

Persetujuan dalam paripurna DPR hanyalah formalits karena persetujuan sesungguhnya sudah diputuskan dalam pembicaraan tahap I. Namun, jika dipandang perlu bukan tidak mugkin partisipasi masyarakat tertap diperlukan ketika DPR misalnya memaksakan persetujuan materi yang sejak awal ditolak masyarakat.  
Yang mewakili pemerintah dalam pembahasan RUU bersama DPR
8
Pengesahan UU
Ya/Tidak

Pengesahan adalah tindakan presiden untuk menandatangani suatu RUU yang sudah disetujui bersama sehingga lebih bersifat prosedur formal. Namun, bukan tidak mungkin partisipasi diperlukan ketika masyarakat misalnya menolak suatu RUU yang telah disetujui. Kendati tidak berpengaruh, penolakan presiden untuk mengesahkan akan menjadi sinyalemen positif utk mempersoalkan UU tersebut di MK.

9
Pengundangan UU
Tidak


Depkumham
10
Penyebarluasan UU
Ya
-      forum-forum sosialisasi
-      penyebaran UU kepada masyarakat
Tahap penyusunan RUU sebenarnya sudah selesai, tetapi tidak ada salahnya masyarakat dilibatkan dalam sosialisasi, terutama mereka atau lembaga yang sejak semula aktif terlibat dengan UU dimaksud
Terutama pemrakarsa dan depkumham, tetapi dapat pula dilakukan oleh kementerian lain seperti Depkominfo









BIBLIOGRAFI
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia, 1982.   
Febrian. Buku Panduan tentang Proses Legislasi untuk Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Jakarta: United Nations Development Program, tanpa tahun.
Feulner, Frank. Peran Perwakilan Parlemen, Jakarta: United Nations Development Program (UNDP), 2008.
Isra, Saldi. Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, Cetakan ke-1, Jakarta: Rajawali Press, 2010, hal. 282-292.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 53; Tambahan Lembaran Negara Nomor 4389).
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 123; Tambahan Lembaran Negara Nomor 5043).
_________________. Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden. 
Ridwan. Buku Panduan tentang Proses Legislasi untuk Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia. Jakarta: United Nations Development Program (UNDP), tanpa tahun.
Sholikin, M. Nur et. al.. Pengujian Undang-undang dan Proses Legislasi. Jakarta: Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK), 2007.
Suyudi, Aria et. al. Studi Tata Kelola Proses Legislasi, Cetakan 1, Jakarta: Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK), 2008. 
Tweedie, Steven. Penguatan Manajemen Fraksi: Meningkatkan Kinerja Fraksi dan Penyusunan Indikator Baseline Kinerja Fraksi di DPR-RI, Jakarta: United Nations Development Program (UNDP), 2008.
Yuliandri. Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik: Gagasan Pembentukan Undang-undang Berkelanjutan, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2009.


[1] Khusus untuk DPD hanya untuk bidang tertentu saja sebagaimana diatur dalam Pasal 22D ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945 yang berbunyi, “Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.”
[2] Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2004 Nomor  53; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia (TLNRI) Nomor 4389.
[3]Dalam Yuliandri, Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik: Gagasan Pembentukan Undang-undang Berkelanjutan, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2009, hal. 188.
[4]Dalam Yuliandri, Asas-asas Pembentukan Peraturan…, hal. 188.
[5] Lihat Pasal 22D ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945.
[6]Dalam Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, Cetakan ke-1, Jakarta: Rajawali Press, 2010, hal. 284.
[7]Dalam Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislas: ...l, hal. 285.
[8]Dalam Yuliandri, Asas-asas Pembentukan Peraturan…, hal. 189-190.
[9]Dalam Yuliandri, Asas-asas Pembentukan Peraturan…, hal. 188-189.
[10]Dalam Yuliandri, Asas-asas Pembentukan Peraturan…, hal. 190.
[11]Dalam Yuliandri, Asas-asas Pembentukan Peraturan…, hal. 190.
[12] Lihat misalnya Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT Gramedia, Jakarta, 1982, hal. 208.
[13] Yuliandri, Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik: Gagasan Pembentukan Undang-undang Berkelanjutan, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2009, hal. 185.
[14] LNRI Tahun 2009 Nomor 123; TLNRI Nomor 5043.
[15] DPR RI, Reformasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia: Laporan Hasil Tim Kajian Peningkatan Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Jakarta, Desember 2006, hal. 49.
[16] Lihat bunyi Pasal 20 ayat (2) Perubahan Pertama UUD 1945. Diskusi tentang ini, lihat Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Peresidensial Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 2010.
[17] Mengenai hal ini lihat lampiran laporan.
[18] Pasal 3 ayat (1) Perpres Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden.
[19] Lihat Pasal 6 s.d. Pasal 20 Perpres 68/2005.  
[20] Pemrakarsa adalah menteri/pimpinan lembaga pemerintah nondepartemen yang mengajukan usul penyusunan RUU. Lihat Pasal 1 angka 8 Perpres 68/2005.
[21] Lihat Pasal 21 s.d Pasal 24 Perpres Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden.
[22] DPR RI, Reformasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia: Laporan Hasil Tim Kajian Peningkatan Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Jakarta, Desember 2006, hal. 49-50.
[23] LNRI Tahun 2008 Nomor 61; TLNRI Nomor 4846.
[24] Lihat Pasal 18 ayat (1) huruf b UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
[25] Seperti yang terungkap dalam konsultasi publik tanggal 10 Maret 2010, kalangan Depkumham pun sendiri sering memberikan klasifikasi ”rahasia” terhada RUU yang sedang disusun. Hal ini merupakan warisan dari era Orde Baru. Seharusnya hal tersebut tidak terjadi lagi dengan hadirnya UU KIP.
[26] Lihat catatan kaki nomor
[27] Siaran Pers PSHK mengenai akhir masa sidang II DPR periode 2009-2014, Jakarta, 4 Maret 2010.
[28] Lihat http://www.djpp.depkumham.go.id/index.php/prolegnas-2010-2014, diakses pada tanggal 10 Maret 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar